Cerpen Shoma Noor Fadlillah
“Gue abis nabrak orang,” cengir Gul usai memarkir motor. Nadanya
ringan seolah baru saja ia mengatakan “Selamat sore” padaku yang tengah
menunggunya di teras.
“Hah? Lo nabrak orang? Gimana keadaan si korban?”
“Mana gue tahu. Gue tinggal cabut aja.”
“Gila lo! Itu nyawa manusia lo kira botol plastik!”
“Salah siapa, anak kecil, cewek, seumuran Alina adek lo, bonceng
tiga, yang pake helm satu doang yang paling belakang, nerobos lampu merah,
ngebut, di pantura lagi.”
Mendadak aku membayangkan tiga anak perempuan kelas dua SMP
bertumbangan di pantura bersimbah darah. Biar bagaimanapun, para saksi tetap
akan menyumpah-serapahi Gul meskipun bukan ia yang salah.
“Ngapain lihat gue mendelik gitu?”
Sontak aku memalingkan muka, “Perasaan, lo sering banget nabrak orang,”
ujarku dengan suara tipis.
“Gue udah rem, Maiko, lo kira gue dapet SIM cuma bayar doang apa.
Gue juga ujian murni. Dan nggak sekalipun nabrak rintangan. Mereka tuh, para
pelanggar aturan yang kena akibat dari perbuatannya sendiri!”
***
Aku belum bisa naik motor. Entah kenapa, setiap kali latihan,
tanganku seperti kurang stabil menahan gas. Jadi rasa malas muncul tiba-tiba di
bilangan puluhan kali latihan. Itu jadi alasan adikku, Alina, untuk
memanfaatkan motor peninggalan ayah. Dan beruntung saja, dia lebih mahir
berkendara daripada aku.
Itu yang membuat kepekaanku terhadap kecelakaan lalu lintas rendah.
Aku tidak peduli bagaimana aturan berkendara yang baik. Setahuku, aku harus
berdoa dan memakai helm saat diboncengkan Gul, kekasihku. Lagi-lagi, karena itu, Alina membuatku menyerah dengan
kekeraskepalaannya untuk naik sepeda motor ke sekolah.
“Kan Kakak nggak mau bawa motor, ya sudah aku aja yang manfaatin!
Mubadzir, tau!”
Apalagi jika gadis bermata lebar dan potongan rambut seperti Dora
itu selalu mengeluarkan dalil “Innal mubadzdziriina kaanuu ikhwaanas
syayaathiin” tiap kali kusuruh untuk naik angkot saja. Tidak ada kata-kata
larangan yang mampu mengurungkan niatnya naik motor. Hanya saja, aku menjadi
lebih peduli pada Alina.
“Pake helm!”
Alina masih berputar-putar di sekitar meja makan mencari kontak
motor.
“Jangan ngebut!”
Alina masuk ke dapur lalu keluar lagi membawa gembes penuh air
putih.
“Perhatikan lampu merah!”
Alina menalikan sepatu.
“Langsung pulang!”
Alina menyisir rambut kedua kalinya.
“Alina, jangan bikin Kakak khawatir!”
Alina masih menyisir.
“Alina!”
Alina bersungut-sungut di depan cermin lalu menoleh, “Kak Maiko
bawel! Alina udah gede! Alina udah tau!”
Aku menghela napas. Alina berpamitan. Aku tidak berani melihatnya
membawa motor ke sekolah untuk pertama kalinya.
***
“Tetap nggak boleh! Jakarta itu ramai! Lagian helmnya mau kupakai
pergi sama Gul!”
“Pacaran aja terus!” seru Alina emosi. Dia berlari ke kamar dan
terdengar beberapa kali bunyi ‘klik’ yang artinya, sifat meledak-ledak si
sanguin itu sedang dalam keadaan negatif.
Seperti biasa, aku menghela napas. Menjadi orang tua sekaligus
kakak yang baik untuk seorang adik itu susah. Sejak Ayah dan Ibu meninggal
bergantian beberapa tahun silam, aku menjadi satu-satunya orang yang menjaga
Alina agar dewasa dengan tepat.
Memang aku mengijinkan dia membawa motor ke sekolah, tetapi bukan
berarti aku mengijinkannya kelayapan ke mana-mana. Jakarta, selain jauh dari
Depok, dia juga belum bisa dikategorikan menjadi pengendara yang memenuhi
persyaratan. Jangankan punya SIM, umurnya saja belum mencukupi.
Aku tidak begitu memikirkan Alina. Dalam keadaan ngambek dan
mengunci diri, dia pasti tidak ke mana-mana. Aku melanjutkan rutinitas hari
Minggu, memasak, membuat kudapan, dan download beberapa film yang tertunda
selama seminggu, dan bersiap-siap pergi ke pameran bersama Gul.
Setengah jam sudah aku menunggu di teras. Lelaki dengan helm biru
laut itu muncul di belokan saat aku mendengarkan Thousand Miles—Vanessa
Carlton. Dia membuka kaca helmnya sebelum masuk ke pekarangan. Gayanya
cengar-cengir khas lelaki ekstrovert.
“Ngapain lo cengar-cengir?” tanyaku.
Lalu dia menjawab dengan kalimat yang tidak pernah kuduga, “Gue
abis nabrak orang.”
“Hah? Lo nabrak orang? Gimana keadaan si korban?” Kuperhatikan
lamat-lamat wajahnya. Berharap menemukan keseriusan di sela-sela cengiran aneh
bercampur keringat dingin itu.
“Mana gue tahu. Gue tinggal
cabut aja.” Gul melepas helm lalu duduk santai di sampingku. Tanpa basa-basi,
dia langsung menyeruput es jeruk yang kusediakan.
“Gila lo! Itu nyawa manusia lo kira botol plastik!”
“Salah siapa, anak kecil, cewek, seumuran Alina adek lo, bonceng
tiga, yang pake helm satu doang yang paling belakang, nerobos lampu merah,
ngebut, di pantura lagi. Berandalan banget anak-anak sekarang”
Dadaku was-was. Pikiranku membayangkan macam-macam. Hal-hal
mengerikan berkelebat bergantian. Di satu sisi, hatiku yang lain berusaha
mengingatkan; Alina mengunci diri di kamar.
“Ngapain lihat gue mendelik gitu?”
Sontak aku memalingkan muka, “Perasaan, lo sering banget nabrak
orang,” ujarku dengan suara tipis. Mengingat beberapa waktu lalu Gul juga
pernah menyerempet anak sekolahan.
“Gue udah rem, Maiko, lo kira gue dapet SIM cuma bayar doang apa.
Gue juga ujian murni. Dan nggak sekalipun nabrak rintangan. Mereka tuh, para
pelanggar aturan yang kena akibat dari perbuatannya sendiri!”
Aku diam, khidmat merenungkan kalimat Gul. Seolah suara Gul
mengandung ribuan duri yang mengarah kepadaku. Aku merasa salah membiarkan
Alina membawa motor ke sekolah. Bagaimana jika semua pengendara memiliki
pemikiran sama seperti Gul? Apakah jika Alina tidak mematuhi lampu lalu lintas
sekalipun ia memakai helm, tetap tertabrak dan dibiarkan?
“Maiko, malah ngelamun! Ambil helmnya, yuk berangkat.”
Aku cepat-cepat mengangguk. Alangkah paniknya aku saat gagal
menemukan helm di rak biasanya.
“Kenapa?” tanya Gul.
“Helmnya …”
Dido-dido-dido… telepon genggamku berdering.
“Ya, halo? … Iya saya Maiko… Dari siapa? Siapa yang di rumah sakit?
… APA?!”
Kakiku terasa lumer seperti pita gulung. Kabar dari rumah sakit,
Alina baru saja menjadi korban tabrak lari di jalan pantura.
***End
Blog post ini
dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan
Nulisbuku.com