♠ terlahir dari rahim imajinasi yang frustasi,
♠ teracuni belerang-belerang rindu,
♠ tewas di belantara aksara sebab gagal menembus media ...

Selasa, 06 Januari 2015

Jangan Salahkan Hujan



Dahulu kala, hujan dan pelangi adalah dua sahabat yang selalu bersama. Hujan selalu datang lebih dulu, lalu pelangi menyusul. Seringkali hujan yang menunggu pelangi, semakin lama ia menunggu, semakin deras pula butiran air yang dijatuhkannya ke bumi. Baru setelah pelangi muncul, hujan tersenyum kecil lewat rintikan lembut, sebelum keduanya pergi lagi meninggalkan langit bersama-sama. Selalu begitu.
Hujan tak pernah mengeluh mengapa ia harus selalu menunggu. Hujan juga tak pernah meminta pelangi agar muncul lebih dulu. Hujan menikmati masa penantian dengan berjalan-jalan ke bumi dengan rintikan-rintikan kecilnya. Ia bahagia saat melihat butiran airnya mengenai dedaunan, lalu menuruni batangnya, kemudian jatuh dengan lembut ke dalam tanah yang akhirnya diserap akar sebagai nutrisi. Ia bahagia ketika butiran airnya memberi minum anak-anak padi yang menengadah, hingga ia dewasa dan berguna bagi kelangsungan hidup makhluk bumi. Ia bahagia ternyata kedatangannya selalu berguna. Ia terus berjalan-jalan, sembari menunggu pelangi datang.
“Hai hujan! Wah sepertinya sedang bahagia nih.” Sapa pelangi yang muncul tiba-tiba di ufuk timur dengan cantiknya.
“Eh, Hai. Kau sudah datang, ya pelangi?” Hujan yang masih senyum-senyum sendiri terkejut mendengar suara pelangi dari dekatnya.
“Tuh kan kamu tidak tahu aku sudah lama mengamatimu dari sini. Ngomong-ngomong apa yang membuatmu gembira begitu?” Selidik pelangi penasaran.
“Err kamu pasti tidak percaya bahwa aku sangat berguna bagi semua makhluk bumi. Aku merasa bahagia sekali.” Ujar hujan dengan riang gembira.
“Tentu hujan, apalagi kamu selalu sabar menungguku. Coba lihat, anak-anak manusia selalu berteriak-teriak senang saat melihat indahnya tujuh warnaku. Apabila kamu tidak sabar menungguku, tentu mereka tidak akan gembira seperti ini.” Kata pelangi membuat hujan semakin senang. Ia menunjuk ke arah anak-anak kecil yang bersorak sorai “Ada pelangi! Horeee!!” Hujan sangat bahagia sekali.
“Waah aku sangat bersyukur mereka baik kepada kita. Kalau begitu mari kita pergi perlahan agar mereka masih bisa melihat kita saat kita menjauh.” Hujan menggandeng pelangi dan pergi menjauh. Anak-anak manusia masih terlihat senang bahkan saat mereka hanya melihat bayangan samar di langit, diiringi rintikan hujan yang semakin kecil dan lembut. Mereka tidak pernah tahu kemana hujan dan pelangi pergi. Mereka juga tak pernah tahu dari mana hujan dan pelangi datang, mereka hanya merasa senang.
Sampai tibalah saat waktunya hujan turun lagi. Hujan yang terlalu bersemangat untuk membasahi bumi kini tak hanya turun untuk menunggu pelangi datang. Hujan ingin melihat lebih banyak lagi kebahagiaan bumi yang didapatkan dari butiran-butiran airnya. Hujan berkeliling di bumi. Mengamati reaksi setiap sudut bumi setiap kali airnya berjatuhan. Ia menjadi sangat bahagia dan bersemangat untuk menjatuhkan airnya di lebih banyak tempat.
Sehingga ia tiba di atas sungai, hujan sangat terkejut. Saat butiran-butiran airnya berjatuhan kemudian melebur dengan air sungai, mengalir begitu derasnya dalam pagar batu yang cantik, manusia malah melemparinya dengan sampah. Awalnya hujan hanya melihat itu sebagai kelalaian manusia, tapi semakin jauh ia mengikuti aliran sungai, ia melihat semakin banyak sampah yang menggunung, menyumbat aliran sungai yang indah berkelok-kelok. Hujan merasa sedih. Ia merasa dirinya dikhianati oleh mahluk bumi. Manusia mengira air terlalu hebat, bisa mendorong sampah meninggalkan pemukiman mereka lewat aliran sungai. Manusia mengira air bisa meleburkan sampah-sampah bau mereka. Padahal air hanya air, satu bagian dari hujan yang bermanfaat bagi mereka untuk menyuburkan tanaman mereka.
Saking sedihnya, hujan berlari dan menangis. Ternyata manusia tak bisa menghargai air. Ternyata manusia menganggap remeh air. Ia berlari dan terus berlari. Tangisannya yang keras membuat hujan semakin turun deras. Saat ia semakin berlari sambil menangis, jadilah hujan badai di bumi. Ia tak peduli, ia terus berlari sampai..
Bugk!
Hujan menabrak sesuatu. Saat ia membuka matanya, ia terkejut lagi. Hujan menabrak gunung yang gundul.
“Kemana pepohonan yang selalu cantik dengan air hujanku?” Hujan tersedu sambil mengitari gunung. Ia melihat manusia yang menebangi pohon dengan rakusnya. Hujan ingin menangis lagi, tapi kali ini bukan terasa sedih. Hujan ingin marah. Hujan geram dan ingin membalas perbuatan keji manusia-manusia itu. Hujan berfikir, manusia harus diberi pelajaran. Hutan yang penuh dengan pepohonan rindang, yang daunnya bisa dimanfaatkan untuk masakan, batangnya bisa dimanfaatkan untuk perabotan, dan akarnya dapat menyimpan air agar tidak longsor dan banjir itu digunduli dengan sadisnya oleh manusia. Hujan merasakaan wajahnya kian memanas. Ia sudah telanjur marah. Ia ingin manusia itu tahu akibat dari perbuatannya.
Hujan berlari mengelilingi bumi dengan lebatnya. Hujan badai. Airnya menggelora di sungai. Sampah yang menyumbat membuat air hujan yang semakin banyak jatuh itu tak mampu ditampung oleh sungai. Akhirnya sungai meluap. Melahap rumah-rumah. Melahap jembatan, pintu air, memenuhi waduk-waduk, dan membuat seluruh kota terendam banjir. Tapi hujan telanjur tak peduli. Ia marah, semakin marah, dan sangat marah. Bahkan ia tak melihat kedatangan pelangi. Derasnya hujan membuat langit begitu gelap. Pelangi yang indah tak dapat dilihat oleh anak-anak kecil. Pelangi hanya bisa memohon kepada hujan agar mau memaafkan.
“Hujan, tenanglah! Jangan marah begitu..” Ujar pelangi memohon. Namun hujan mengabaikan pelangi. Pelangi tidak tahu apa yang menyebabkan hujan begitu marah.  Pelangi terisak dalam langit gelap. Sekarang giliran ia yang menunggu hujan reda. Tapi sehari, dua hari, tiga hari, seminggu… Hujan tak kunjung reda. Pelangi kecapaian. Ia menyerah menunggu hujan. Ia berjalan linglung meninggalkan langit. Saat dalam perjalanan pulang, ia melihat sendiri apa yang terjadi di bumi. Banjir dimana-mana. 


Kerongkongan pelangi tercekat. Ia tahu mengapa hujan sangat marah. Manusia sangat tidak manusiawi kepada lingkungannya sendiri. Mereka berkata menjaga bumi, tapi malah merusaknya. Pelangi menangis melihat keadaan bumi yang gundul dan penuh sampah. Ia segera berpaling karena tak tega melihat bumi yang sakit parah karena manusia. Sekarang pelangi takut muncul di langit. Ia takut melihat keadaan bumi yang semakin mengerikan. Ia hanya berpesan kepada manusia, “Tolong, jangan salahkan hujan.”

Kulon panjunan, 15 Oktober 2014

KONDE


kecupan kembar mendentum di selembar pagi

nyalakan pundipundi, riuhkan bangkai pelangi
jarijemari terekat di sebalik leher

nyawakan fosilfosil, rangkaikan sebuket kata yang mengelewer

kuhirup dalam aroma cinta setinggi tumpukan windu

dari sekerat senyum

meski kedurhakaan kehilangan bilang

kau sanjang, bahagia selalu sepadat benangbenang

putih di belakang mata penuh kerutan



Lor Makam, 15 November 2014

Payung Hitati

  Hitati adalah kucing anggora muda yang cantik. Ia mempunyai seorang kakak perempuan, namanya Nades. Meskipun Hitati cantik, dia tidak mempunyai banyak teman. Itu karena sifatnya yang sombong dan tidak pernah mau berbagi dengan orang lain.
  Pada suatu hari, kakek Hitati akan pergi ke luar kota. Ia memberi cucu-cucunya barang peninggalan. Kepada kakak Hitati, Kakek memberi sebuah lampion kamar yang sangat cantik. Kepada Hitati, Kakek memberi sebuah payung merah muda.
  Hitati melihat Nades memasang lampion itu di kamarnya. Hitati merasa kesal.
  “Mengapa kakek memberiku payung jelek ini? Kak Nades saja dapat lampion yang sungguh indah,” gerutunya. Kakek hanya tersenyum mendengarnya.
Hitati bermaksud untuk membuang kekesalannya dengan jalan-jalan. Dia membawa payung pemberian Kakek. Pada saat ia lumayan jauh dari rumah, tiba-tiba angin bertiup kencang. Hujan turun dengan tiba-tiba. Hitati segera membuka payungnya.
  “Kucing Cantik, maukah kau berbagi payung denganku?” tanya seekor kelinci yang berada di seberang jalan. Tubuhnya basah kuyup.
  “Aih, enak saja!” timpal Hitati. Lalu ia berlalu meninggalkan kelinci yang menggigil kedinginan.
  Tak disangka, angin bertiup lebih kencang dari sebelumnya. Payung Hitati terbalik, lalu terbang mengikuti angin.
  “Tidak! Tidak! Kembali! Jangan terbang!!” Hitati berteriak ketakutan. Jalanan itu sepi, tidak ada orang yang bisa dimintai bantuan.
  Angin menerpa apa saja. Hujan semakin lebat. Air mulai naik. Hitati panik. Bulunya yang indah kini mengapung di air. Hitati tidak bisa berenang.
  “Tolong! Tolong!” Ia berteriak-teriak. Tapi tak ada yang mau menolong. Tubuh Hitati terseret banjir. Hujan hampir mereda, tetapi banjir belum juga surut. Hitati menggapai-gapai permukaan air.
  Tiba-tiba Hitati melihat sesuatu berwarna merah muda mengapung di atas air. Ternyata itu payung Hitati. Payung itu terbalik, menyerupai sebuah kapal. Di atasnya ada seekor kelinci yang tadi meminta bantuan kepada Hitati.
  “Kelinci Cantik, tolonglah aku,” rengek Hitati. Dia merasa malu kepada kelinci. Karena kali ini ia harus meminta tolong.
  “Tidak. Kau tidak pernah mau berbagi, bukan?” jawab Kelinci.
  Hitati merasakan pusing yang hebat. Tubuhnya mulai kemasukan air. “Aku minta maaf, Kelinci. Aku berjanji akan berbagi dengan orang lain. Kumohon, tolong aku …,” pinta Hitati.
  Kelinci tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk menarik tubuh Hitati. Hitati pun selamat.
  “Terimakasih, Kelinci. Aku sangat menyesal. Aku akan menjadi anggora yang baik mulai sekarang.”
  Kelinci tersenyum mendengarnya. Kemudian mereka mendayung payung itu untuk pulang ke rumah. Mulai saat itu, Hitati selalu berbagi dan berbuat baik kepada orang lain.

BILAKAH TUAN





bilakah tuan dengar

ceracau air menyetubuhi bebatu

takzim pada parade sampah

itu kami sedang melagu, menyumpah


bilakah tuan lirik

aum angin menembus bejatdurja

khusyuk di antara marathonan detik

itu kami sedang murka, mencekik


bilakah tuan tidur

letupan lentera kelak meraksasa

tumakninah pada siksa yang bermula

itu kami sedang memintal asa, menggauli neraka



Rumah Bunda, 16 November 2014


Bekelan



sayupsayup mega merangkak

mahkota tumpah telak

di bedongan pertiwi sebuah kursi

diletaki pantat tanpa mata


jejarum bak hakim segala maha

tapi ruh tanpa nama mainkan

bulatan sesak oleh nyawa

dengan tongkattongkat sulap


tanah bergelindingan

serupa bekel di antara kijing

dirajai cahaya abstrak

meledak-ledak




Jetak Kembang, 14 November 2014