♠ terlahir dari rahim imajinasi yang frustasi,
♠ teracuni belerang-belerang rindu,
♠ tewas di belantara aksara sebab gagal menembus media ...

Minggu, 01 November 2015

ALINA


Cerpen Shoma Noor Fadlillah



“Gue abis nabrak orang,” cengir Gul usai memarkir motor. Nadanya ringan seolah baru saja ia mengatakan “Selamat sore” padaku yang tengah menunggunya di teras.


“Hah? Lo nabrak orang? Gimana keadaan si korban?”


“Mana gue tahu. Gue tinggal cabut aja.”


“Gila lo! Itu nyawa manusia lo kira botol plastik!”


“Salah siapa, anak kecil, cewek, seumuran Alina adek lo, bonceng tiga, yang pake helm satu doang yang paling belakang, nerobos lampu merah, ngebut, di pantura lagi.”


Mendadak aku membayangkan tiga anak perempuan kelas dua SMP bertumbangan di pantura bersimbah darah. Biar bagaimanapun, para saksi tetap akan menyumpah-serapahi Gul meskipun bukan ia yang salah.


“Ngapain lihat gue mendelik gitu?”


Sontak aku memalingkan muka, “Perasaan, lo sering banget nabrak orang,” ujarku dengan suara tipis.


“Gue udah rem, Maiko, lo kira gue dapet SIM cuma bayar doang apa. Gue juga ujian murni. Dan nggak sekalipun nabrak rintangan. Mereka tuh, para pelanggar aturan yang kena akibat dari perbuatannya sendiri!”


***


Aku belum bisa naik motor. Entah kenapa, setiap kali latihan, tanganku seperti kurang stabil menahan gas. Jadi rasa malas muncul tiba-tiba di bilangan puluhan kali latihan. Itu jadi alasan adikku, Alina, untuk memanfaatkan motor peninggalan ayah. Dan beruntung saja, dia lebih mahir berkendara daripada aku.


Itu yang membuat kepekaanku terhadap kecelakaan lalu lintas rendah. Aku tidak peduli bagaimana aturan berkendara yang baik. Setahuku, aku harus berdoa dan memakai helm saat diboncengkan Gul, kekasihku. Lagi-lagi, karena itu, Alina membuatku menyerah dengan kekeraskepalaannya untuk naik sepeda motor ke sekolah.


“Kan Kakak nggak mau bawa motor, ya sudah aku aja yang manfaatin! Mubadzir, tau!”


Apalagi jika gadis bermata lebar dan potongan rambut seperti Dora itu selalu mengeluarkan dalil “Innal mubadzdziriina kaanuu ikhwaanas syayaathiin” tiap kali kusuruh untuk naik angkot saja. Tidak ada kata-kata larangan yang mampu mengurungkan niatnya naik motor. Hanya saja, aku menjadi lebih peduli pada Alina.


“Pake helm!”


Alina masih berputar-putar di sekitar meja makan mencari kontak motor.


“Jangan ngebut!”


Alina masuk ke dapur lalu keluar lagi membawa gembes penuh air putih.


“Perhatikan lampu merah!”


Alina menalikan sepatu.


“Langsung pulang!”


Alina menyisir rambut kedua kalinya.


“Alina, jangan bikin Kakak khawatir!”


Alina masih menyisir.


“Alina!”


Alina bersungut-sungut di depan cermin lalu menoleh, “Kak Maiko bawel! Alina udah gede! Alina udah tau!”


Aku menghela napas. Alina berpamitan. Aku tidak berani melihatnya membawa motor ke sekolah untuk pertama kalinya.


***


“Tetap nggak boleh! Jakarta itu ramai! Lagian helmnya mau kupakai pergi sama Gul!”


“Pacaran aja terus!” seru Alina emosi. Dia berlari ke kamar dan terdengar beberapa kali bunyi ‘klik’ yang artinya, sifat meledak-ledak si sanguin itu sedang dalam keadaan negatif.


Seperti biasa, aku menghela napas. Menjadi orang tua sekaligus kakak yang baik untuk seorang adik itu susah. Sejak Ayah dan Ibu meninggal bergantian beberapa tahun silam, aku menjadi satu-satunya orang yang menjaga Alina agar dewasa dengan tepat.


Memang aku mengijinkan dia membawa motor ke sekolah, tetapi bukan berarti aku mengijinkannya kelayapan ke mana-mana. Jakarta, selain jauh dari Depok, dia juga belum bisa dikategorikan menjadi pengendara yang memenuhi persyaratan. Jangankan punya SIM, umurnya saja belum mencukupi.


Aku tidak begitu memikirkan Alina. Dalam keadaan ngambek dan mengunci diri, dia pasti tidak ke mana-mana. Aku melanjutkan rutinitas hari Minggu, memasak, membuat kudapan, dan download beberapa film yang tertunda selama seminggu, dan bersiap-siap pergi ke pameran bersama Gul.


Setengah jam sudah aku menunggu di teras. Lelaki dengan helm biru laut itu muncul di belokan saat aku mendengarkan Thousand Miles—Vanessa Carlton. Dia membuka kaca helmnya sebelum masuk ke pekarangan. Gayanya cengar-cengir khas lelaki ekstrovert.


“Ngapain lo cengar-cengir?” tanyaku.


Lalu dia menjawab dengan kalimat yang tidak pernah kuduga, “Gue abis nabrak orang.”


“Hah? Lo nabrak orang? Gimana keadaan si korban?” Kuperhatikan lamat-lamat wajahnya. Berharap menemukan keseriusan di sela-sela cengiran aneh bercampur keringat dingin itu.


 “Mana gue tahu. Gue tinggal cabut aja.” Gul melepas helm lalu duduk santai di sampingku. Tanpa basa-basi, dia langsung menyeruput es jeruk yang kusediakan.


“Gila lo! Itu nyawa manusia lo kira botol plastik!”


“Salah siapa, anak kecil, cewek, seumuran Alina adek lo, bonceng tiga, yang pake helm satu doang yang paling belakang, nerobos lampu merah, ngebut, di pantura lagi. Berandalan banget anak-anak sekarang”


Dadaku was-was. Pikiranku membayangkan macam-macam. Hal-hal mengerikan berkelebat bergantian. Di satu sisi, hatiku yang lain berusaha mengingatkan; Alina mengunci diri di kamar.


“Ngapain lihat gue mendelik gitu?”


Sontak aku memalingkan muka, “Perasaan, lo sering banget nabrak orang,” ujarku dengan suara tipis. Mengingat beberapa waktu lalu Gul juga pernah menyerempet anak sekolahan.


“Gue udah rem, Maiko, lo kira gue dapet SIM cuma bayar doang apa. Gue juga ujian murni. Dan nggak sekalipun nabrak rintangan. Mereka tuh, para pelanggar aturan yang kena akibat dari perbuatannya sendiri!”


Aku diam, khidmat merenungkan kalimat Gul. Seolah suara Gul mengandung ribuan duri yang mengarah kepadaku. Aku merasa salah membiarkan Alina membawa motor ke sekolah. Bagaimana jika semua pengendara memiliki pemikiran sama seperti Gul? Apakah jika Alina tidak mematuhi lampu lalu lintas sekalipun ia memakai helm, tetap tertabrak dan dibiarkan?


“Maiko, malah ngelamun! Ambil helmnya, yuk berangkat.”


Aku cepat-cepat mengangguk. Alangkah paniknya aku saat gagal menemukan helm di rak biasanya.


“Kenapa?” tanya Gul.


“Helmnya …”


Dido-dido-dido… telepon genggamku berdering.


“Ya, halo? … Iya saya Maiko… Dari siapa? Siapa yang di rumah sakit? … APA?!”


Kakiku terasa lumer seperti pita gulung. Kabar dari rumah sakit, Alina baru saja menjadi korban tabrak lari di jalan pantura.



***End




Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com

2 komentar:

  1. bagus kak cerpennya. aku suka. jadi membuka pikiranku atas pentingnya safety riding :D
    ditunggu cerpen2 yg lainnya kkaak... goodjob (y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Ade :) ini nggak sekadar formalitas kan komennya? :v soalnya bikinnya ndadak dan belum diendapkan ataupun self editing kwkk :)

      Hapus