“Rokib dan Atid bekerja keras sepanjang waktu. Mencatat …
mencatat ….”
“Aku ingin jadi mereka!” lantangku. Lalu suasana menghening,
pasang-pasang mata yang terbuka mengarah kepadaku. Perlahan tanganku turun dan
kepalaku menunduk. Malu.
***
Sebuah pagi yang terbuka dengan hujan, aku dibisiki oleh
kakakku, “Kamu memalukan! Tidak ada orang yang bercita-cita menjadi malaikat!”
“Ada!” sergahku cepat, “Ayah juga malaikat, kakak juga!”
Aku berpikir, Ayah yang seorang hakim agung itu juga
melakukan pekerjaan malaikat. Dia menjatuhka hukuman seenak jidat. Lalu seorang
mausia hidup atau mati ditetukan oleh ketokan palunya. Ya, Ayah seorang
malaikat pencabut nyawa.
Aku pikir kakak juga seorang malaikat. Dia bisa memberi
rezeki pada orang yang ia suka. Membuat orang hutang, atau meminjaminya, atau
memberikannya sukarela. Kakak bisa mendapatkan keuntungan yang luar biasa, tapi
ia kembali memberi orang-orang rezeki. Aku rasa kakak memang seorang malaikat
pemberi rezeki.
“Geblek! Di mana otakmu?!” Ia bangkit dari kursi berlenga
meja. Kasar. Sampai kopi di atasnya bergoyang. “Ayah dan kakak ini manusia
bukan malaikat! Carilah cita-cita yang benar! Jadilah orang sukses!” Ia
menyibak tirai pintu lalu lenyap di baliknya.
Aku terpekur. Apakah menjadi malaikat adalah cita-cita yang
salah? Lalu kenapa Tuhan menciptakan mereka, para malaikat, dan berjanji tidak
membuatnya malakukan hal yang salah? Apakah Tuhan yang salah?
bersambung
kasur, 31 jan 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar