♠ terlahir dari rahim imajinasi yang frustasi,
♠ teracuni belerang-belerang rindu,
♠ tewas di belantara aksara sebab gagal menembus media ...

Sabtu, 31 Januari 2015

Bercita-cita malaikat



“Rokib dan Atid bekerja keras sepanjang waktu. Mencatat … mencatat ….”

“Aku ingin jadi mereka!” lantangku. Lalu suasana menghening, pasang-pasang mata yang terbuka mengarah kepadaku. Perlahan tanganku turun dan kepalaku menunduk. Malu.

***

Sebuah pagi yang terbuka dengan hujan, aku dibisiki oleh kakakku, “Kamu memalukan! Tidak ada orang yang bercita-cita menjadi malaikat!”

“Ada!” sergahku cepat, “Ayah juga malaikat, kakak juga!”

Aku berpikir, Ayah yang seorang hakim agung itu juga melakukan pekerjaan malaikat. Dia menjatuhka hukuman seenak jidat. Lalu seorang mausia hidup atau mati ditetukan oleh ketokan palunya. Ya, Ayah seorang malaikat pencabut nyawa.

Aku pikir kakak juga seorang malaikat. Dia bisa memberi rezeki pada orang yang ia suka. Membuat orang hutang, atau meminjaminya, atau memberikannya sukarela. Kakak bisa mendapatkan keuntungan yang luar biasa, tapi ia kembali memberi orang-orang rezeki. Aku rasa kakak memang seorang malaikat pemberi rezeki.

“Geblek! Di mana otakmu?!” Ia bangkit dari kursi berlenga meja. Kasar. Sampai kopi di atasnya bergoyang. “Ayah dan kakak ini manusia bukan malaikat! Carilah cita-cita yang benar! Jadilah orang sukses!” Ia menyibak tirai pintu lalu lenyap di baliknya.

Aku terpekur. Apakah menjadi malaikat adalah cita-cita yang salah? Lalu kenapa Tuhan menciptakan mereka, para malaikat, dan berjanji tidak membuatnya malakukan hal yang salah? Apakah Tuhan yang salah?

bersambung

kasur, 31 jan 2015

Sabtu, 17 Januari 2015

SIM Larva Kuning




Serial Larva adalah salah satu kartun yang tayang banyak kali sehari di G*****TV. Serial ini selalu ngasih kejutan di akhirnya. Tapi anehnya, rasanya tetap monoton. Apapun judulnya, apapun usaha yang dilakuin si Larva merah, selalu sia-sia, percuma dan gak ada ngaruhnya. Entah kenapa dia selalu ketiban apes, dan akhirnya selalu naas.

Pas nonton mungkin kalian akan sama kayak saya: geregetan! Kenapa tidak, kok bisa sih si tuan Larva Kuning selalu menang dalam segala hal? Selalu beruntung? Selalu dapat enaknya? Sementara di sisi lain, lihatlah, betapa nestapanya si Merah.

Sebelnya lagi, di situ gak dijelasin kenapa Larva Kuning selalu ketiban hoki. Entah dia punya pita keberuntungan, gelang ajaib, lampu ajaib, ramuan keberuntungan, mantra tolakbalak, atau pasang susuk, kali? Duuhh, gak ada penjelasan sama sekali.

Kadang membuat kita pengin nabokin yang bikin, kenapa sih si merah selalu kalah sempelah berdarah-darah(?) padahal dia sudah mengupayakan segala cara. Sampai gak tidur, sampai mau bagi makanan sama yang Kuning, sampai latihan menatap, duh segala macem deh. Kalo dipilih istilah sih, tangguh. Tapi toh itu semua gak ngefek. Selalu aja jadi yang di bawah.

Di sini seolah kita dituntut percaya sama takdir. Takdir yang selalu nampak tidak adil. Kemudian kita disuruh mendadak lumpuh sama watak. Bahwa watak tidak bisa diubah, tidak bisa diperbarui. Sekali menyebalkan tetap menyebalkan.

Hemmh. Yang kayak gini spasti pernah kita alami.

Saat kita susahpayah jengkangjengking kepalajadikaki-kakijadikepala meras keringat sanasini nyiapin iniitu selalu dikalahin sama orang yang tiap waktu ongkangongkang kongkalikong main game makan minum kayak gak punya utang gitu.

Rasanya pengin nelen orang itu hiduphidup tanpa dikecapin.

Tapi gak pernah kesampaian.

Ya, karena dia sudah di garis finish sementara kita masih muter-muter di palang start.

Rasanya kita menjadi orang yang sama sekali tak berguna bagi agama nusa dan bangsa. Rasanya pengin nyungsep seharian di balik rerimbunan bunga lalu keluar bagai kupu-kupu.

Tapii…

Kalo kita lihat lebih detail, ada hal yang selalu dilakukan oleh Larva Kuning yang (gue rasa enggak) cukup untuk membayar keberuntungan-keberuntungan itu.

Apa itu? : se-nyum. Ya, SENYUM.

Dia selalu tersenyum apapun yang terjadi.

Kemudian: Ingin tahu

Dia selalu penasaran apa yang tidak diketahuinya…

Lagi: Menikmati.

Apa yang terjadi biarlah… yang perlu dilakukan saat ini adalah menikmati, sebelum semuanya pergi dan kita menyesal.

Tapi apakah itu mudah dilakukan di zaman antahberantah ini? Tidak, tentu tidak. Jari kelingkingku saja mantap berkata tidak.

Siapapun kita sekarang, tuan larva merah atau kuning, kita sedang diuji.

Dan selamat untuk kalian para larva kuning. Dan buat kami para larva merah, mari kita selalu menunjukkan SIM (senyum, ingintahu, menikmati) kepada setiap butir peristiwa yang enak maupun kurang royco yang terhidang di depan kita.

Percayalah kita semua luar biasa. Hanya serangga hitam besar bertanduk yang ingin membuat kita merana, bukan sesama kita para larva :) :D

Selasa, 13 Januari 2015

Luhtitisari dan Kau: Cayapata


hujan tahu bilang tengkaran kita menyaingi rintiknya

ulangkali hujan menerangkan cara untuk reda

tapi kita tak juga pandai meniru bagaimana

embun mekar setelah dihantam bagaimana

akar menerumbu setelah tenggelam bagaimana

jamur menetas setelah ditendang bagaimana

kita berhenti

langit cegukan kita berebut petirnya

bagaimana kita berhenti

hujan mati kita malah bersepakat mewarisi


Luhtitisari dan Kau: Cayapata
Bawah Lubang-lubang Payung, 12012015, 9:55 pm
 

Kamis, 08 Januari 2015

Bonsai



Tugas Essay_class di LiNE yang gak jadi dikirim -_-




Aku tua, tapi tak pernah beruban. Aneh sekali banyak yang bilang aku ini botak. Jangankan punya organ yang bisa ditumbuhi rambut. Daun-daun pun tidak lagi sudi bersetubuh dengan tengkorakku ini.
Aku adalah fosil troll jahat di masa lalu. Semasa itu aku bisa berbicara, berpindah tempat, dan bergerak layaknya cacing tanah. Sekarang kakiku tertanam seperti wortel. Banyak mulut berasap yang membaladakan berbagai kisahku. Aku yakin itu semua benar. Jadi dengarkan kisah demi kisah yang akan kuhaturkan padamu.
Di masa peperangan, aku sangat gagah. Rerantingku terdiri dari gumpalan otot penuh karbondioksida. Batangku merupakan kambium ber-DNA raksasa. Oh ya, itu karena dulu saat masih banyak bonsai besar yang lalu lalang di sini, selalu ada perkawinan lintas organisme. Dan aku merupakan bonsai yang beruntung, ber-DNA raksasa. Kami tak terkalahkan oleh ras lain.
Berkat keturunan nenek moyang kami itulah,  hamparan luas ini menjadi wilayah kami. Tak ada yang berani menginjakkan kakinya ke sini hingga windu-windu membosankan membunuh kesadaran kami. Kaumku terlalu bosan berjalan-jalan, saling berbicara atau sekedar bersiul. Kami tertidur terlalu lama. Hingga tak sadar kaki kami telah dipasung oleh bumi.
Di bawah terik mentari, hamparan kering ini seperti pemanggang raksasa yang terjatuh dari neraka. Di sana, di ujung sahara ini, para manusia menemukan surga kami, para bonsai raksasa. Mereka membawa mobil-mobil besar, berbisik-bisik sembari menghidupkan sebuah mesin raksasa mirip pemotong sapi. Awalnya kukira mereka tersesat dan kelaparan, mengira ada sapi kabur ke sini.
Tapi dugaanku seratus persen salah. Tanpa banyak umpat mereka membantai kami seperti mencabut taoge dari kapasnya. Aku tidak tahu apa salah kami. Pemotong itu terlalu bersemangat menebas, memukul, memelintir tubuh-tubuh kami dengan suara decitan mirip orang disembelih. Waktu itu hanya aku yang tidak tertidur. Ketika mesin pemotong sapi raksasa itu menghampiri tubuhku, rerantingku menggoda mereka. Padahal hanya kibasan kecil, mereka langsung memelotot dan berdiri lembek seperti kehilangan tulang belakang. Di  detik berikutnya mereka lari sambil mencret-mencret. Ah, dasar pengecut.
Aku melihat sekitar, mau memamerkan kecerdikanku mengibuli mereka. Tapi ternyata, mereka semua—kaumku—telah tumbang. Hanya aku sendirian yang berdiri di belantara gersang ini. Hanya aku.
Entah kenapa, aku merasa bukan bonsai lagi. Aku raksasa yang ingin sekali memelintir leher-leher manusia. Selama tinggal di sahara ini, baru kali itu aku merasa haus sekali. Ya, aku haus dan hanya bisa dipuaskan oleh darah-darah manusia. Aku merindukan nyanyian tulang hancur dalam kambiumku yang perkasa ini. Aku mendambakan buraian usus manusia menyangkut di reranting gagahku ini.
Sejak itu aku agresif. Aku kehilangan moral sebagai pohon, atau sebagai bonsai raksasa. Daun-daunku pun berbondong-bondong bunuh diri melihat perubahanku itu. Aku seperti psikopat yang merasa akan semakin kuat jika melihat manusia enyah dalam remasan akarku.
Lalu satu-satu kejadian yang telah diceritakan teman-temanmu itu bermula. Dua manusia terbang—aku tidak yakin mereka manusia ataukah mungkin mereka manusia ber-DNA pegasus, karena kulihat pakaiannya sangat aneh seperti datang dari dimensi waktu yang berbeda—yang jelas waktu itu aku girang sekali. Setelah berabad-abad aku menunggu, ada juga sepasang manusia jatuh dari langit. Aku senang bukan main. Aku langsung mengupas kulitnya. Menyesap darahnya. Menyate tubuhnya lalu mengunyahnya tanpa perasaan hina.
Aku ketagihan. Rasanya menyenangkan. Bisa membalas dendamkan kematian teman-temanku yang tak berdosa itu. Selama beratus-ratus tahun, aku terus memangsa manusia yang mendekati tubuhku dengan kurang ajar. Tak pernah berhenti. Tak akan berhenti.
Di musim yang lain, sebuah rumah begitu beraninya tumbuh dewasa di wilayahku. Jendelanya menatapku terus-menerus seolah aku ini maling sendal. Malam hari terasa begitu gerah, aku sudah tidak tahan dengan tatapan jendela itu. Aku tahu ada beberapa manusia pembohong di sana. Manusia yang selalu meyakinkan putrinya aku ini pohon tua mati. Padahal putri mereka benar. Aku hidup. Aku bergerak.
Malam itu juga, setelah putri kecil itu terlelap dalam mimpinya, aku menculik orang tua pembohong mereka dengan mengetuk jendela rimpinya jendela. Bukan salahku jika jendela itu pecah. DNA raksasa, kau ingat? Dan betapa bahagianya aku melihat ketakutan yang berupa-rupa warnanya itu menajam di mata mereka. Pertama ibunya—pembual yang rutin mendongengkan kedustaan kepada putrinya sebelum tidur. Lalu ayahnya, laki-laki pengecut yang tidak mau melindungi istrinya dan malah membangunkan putri kecil manis itu. Bah! Enak sekali rasanya meremas-remas mereka menjadi seperti remahan roti. Oh ya, tak lupa aku memasang kentang hijau bisa bicara yang kusimpan di celah kambiumku untuk menenangkan putri kecil itu jika ia bangun. Dan tentu saja, untuk membuatnya amnesia soal orang tuanya.
Di musim yang lain lagi, ada dua orang berpakaian mirip detektif berani-beraninya menggali tanah di dekat kakiku. Mereka saling berkomunikasi dengan banyak kata yang tidak kupahami. Mereka mengeluarkan peti berisi banyak foto. Mereka saling heran dan menatap satu sama lain. Aku berusaha menajamkan pandanganku yang merenta pada foto-foto itu. Aku seperti mengenali beberapa wajah lalu ….
Aku terbahak! Siapa yang membuat rekayasa foto-foto yang begitu konyol? Itu kan manusia-manusia yang kuremas sampai ke tulang-tulang ekornya!! Aku tertawa sembari memegangi perutku, kalau tidak, eranganku bisa membangunkan tidur siang puteri kecilku itu.
***
Aku memandang ke arah jiwa-jiwa yang kini berdesakan di dalam kambiumku. Sebagian dari mereka adalah manusia-manusia yang kuremas sampai rambut-rambutnya, sebagian lagi adalah manusia yang mengeramatkanku, dan menjadikanku Pohon Harapan. Sekarang mereka tahu, tidak ada pohon harapan. Yang ada hanya pohon pembunuh harapan-harapan segar dari manusia bajingan. []