Aku tua, tapi tak pernah beruban.
Aneh sekali banyak yang bilang aku ini botak. Jangankan punya organ yang bisa
ditumbuhi rambut. Daun-daun pun tidak lagi sudi bersetubuh dengan tengkorakku
ini.
Aku adalah fosil troll jahat di masa
lalu. Semasa itu aku bisa berbicara, berpindah tempat, dan bergerak layaknya
cacing tanah. Sekarang kakiku tertanam seperti wortel. Banyak mulut berasap
yang membaladakan berbagai kisahku. Aku yakin itu semua benar. Jadi dengarkan
kisah demi kisah yang akan kuhaturkan padamu.
Di masa peperangan, aku sangat
gagah. Rerantingku terdiri dari gumpalan otot penuh karbondioksida. Batangku
merupakan kambium ber-DNA raksasa. Oh ya, itu karena dulu saat masih banyak
bonsai besar yang lalu lalang di sini, selalu ada perkawinan lintas organisme.
Dan aku merupakan bonsai yang beruntung, ber-DNA raksasa. Kami tak terkalahkan
oleh ras lain.
Berkat keturunan nenek moyang kami
itulah, hamparan luas ini menjadi
wilayah kami. Tak ada yang berani menginjakkan kakinya ke sini hingga
windu-windu membosankan membunuh kesadaran kami. Kaumku terlalu bosan
berjalan-jalan, saling berbicara atau sekedar bersiul. Kami tertidur terlalu
lama. Hingga tak sadar kaki kami telah dipasung oleh bumi.
Di bawah terik mentari, hamparan
kering ini seperti pemanggang raksasa yang terjatuh dari neraka. Di sana, di
ujung sahara ini, para manusia menemukan surga kami, para bonsai raksasa. Mereka
membawa mobil-mobil besar, berbisik-bisik sembari menghidupkan sebuah mesin
raksasa mirip pemotong sapi. Awalnya kukira mereka tersesat dan kelaparan,
mengira ada sapi kabur ke sini.
Tapi dugaanku seratus persen salah. Tanpa
banyak umpat mereka membantai kami seperti mencabut taoge dari kapasnya. Aku
tidak tahu apa salah kami. Pemotong itu terlalu bersemangat menebas, memukul,
memelintir tubuh-tubuh kami dengan suara decitan mirip orang disembelih. Waktu
itu hanya aku yang tidak tertidur. Ketika mesin pemotong sapi raksasa itu
menghampiri tubuhku, rerantingku menggoda mereka. Padahal hanya kibasan kecil,
mereka langsung memelotot dan berdiri lembek seperti kehilangan tulang
belakang. Di detik berikutnya mereka lari
sambil mencret-mencret. Ah, dasar pengecut.
Aku melihat sekitar, mau memamerkan
kecerdikanku mengibuli mereka. Tapi ternyata, mereka semua—kaumku—telah
tumbang. Hanya aku sendirian yang berdiri di belantara gersang ini. Hanya aku.
Entah kenapa, aku merasa bukan
bonsai lagi. Aku raksasa yang ingin sekali memelintir leher-leher manusia.
Selama tinggal di sahara ini, baru kali itu aku merasa haus sekali. Ya, aku
haus dan hanya bisa dipuaskan oleh darah-darah manusia. Aku merindukan nyanyian
tulang hancur dalam kambiumku yang perkasa ini. Aku mendambakan buraian usus
manusia menyangkut di reranting gagahku ini.
Sejak itu aku agresif. Aku
kehilangan moral sebagai pohon, atau sebagai bonsai raksasa. Daun-daunku pun
berbondong-bondong bunuh diri melihat perubahanku itu. Aku seperti psikopat
yang merasa akan semakin kuat jika melihat manusia enyah dalam remasan akarku.
Lalu satu-satu kejadian yang telah
diceritakan teman-temanmu itu bermula. Dua manusia terbang—aku tidak yakin
mereka manusia ataukah mungkin mereka manusia ber-DNA pegasus, karena kulihat
pakaiannya sangat aneh seperti datang dari dimensi waktu yang berbeda—yang
jelas waktu itu aku girang sekali. Setelah berabad-abad aku menunggu, ada juga
sepasang manusia jatuh dari langit. Aku senang bukan main. Aku langsung
mengupas kulitnya. Menyesap darahnya. Menyate tubuhnya lalu mengunyahnya tanpa
perasaan hina.
Aku ketagihan. Rasanya menyenangkan.
Bisa membalas dendamkan kematian teman-temanku yang tak berdosa itu. Selama
beratus-ratus tahun, aku terus memangsa manusia yang mendekati tubuhku dengan
kurang ajar. Tak pernah berhenti. Tak akan berhenti.
Di musim yang lain, sebuah rumah
begitu beraninya tumbuh dewasa di wilayahku. Jendelanya menatapku terus-menerus
seolah aku ini maling sendal. Malam hari terasa begitu gerah, aku sudah tidak
tahan dengan tatapan jendela itu. Aku tahu ada beberapa manusia pembohong di
sana. Manusia yang selalu meyakinkan putrinya aku ini pohon tua mati. Padahal
putri mereka benar. Aku hidup. Aku bergerak.
Malam itu juga, setelah putri kecil
itu terlelap dalam mimpinya, aku menculik orang tua pembohong mereka dengan mengetuk
jendela rimpinya jendela. Bukan salahku jika jendela itu pecah. DNA raksasa,
kau ingat? Dan betapa bahagianya aku melihat ketakutan yang berupa-rupa warnanya
itu menajam di mata mereka. Pertama ibunya—pembual yang rutin mendongengkan
kedustaan kepada putrinya sebelum tidur. Lalu ayahnya, laki-laki pengecut yang
tidak mau melindungi istrinya dan malah membangunkan putri kecil manis itu.
Bah! Enak sekali rasanya meremas-remas mereka menjadi seperti remahan roti. Oh
ya, tak lupa aku memasang kentang hijau bisa bicara yang kusimpan di celah kambiumku
untuk menenangkan putri kecil itu jika ia bangun. Dan tentu saja, untuk
membuatnya amnesia soal orang tuanya.
Di musim yang lain lagi, ada dua
orang berpakaian mirip detektif berani-beraninya menggali tanah di dekat
kakiku. Mereka saling berkomunikasi dengan banyak kata yang tidak kupahami.
Mereka mengeluarkan peti berisi banyak foto. Mereka saling heran dan menatap
satu sama lain. Aku berusaha menajamkan pandanganku yang merenta pada foto-foto
itu. Aku seperti mengenali beberapa wajah lalu ….
Aku terbahak! Siapa yang membuat
rekayasa foto-foto yang begitu konyol? Itu kan manusia-manusia yang kuremas sampai
ke tulang-tulang ekornya!! Aku tertawa sembari memegangi perutku, kalau tidak,
eranganku bisa membangunkan tidur siang puteri kecilku itu.
***
Aku memandang ke arah jiwa-jiwa yang kini berdesakan di dalam kambiumku. Sebagian dari mereka adalah manusia-manusia yang kuremas sampai rambut-rambutnya, sebagian lagi adalah manusia yang mengeramatkanku, dan menjadikanku Pohon Harapan. Sekarang mereka tahu, tidak ada pohon harapan. Yang ada hanya pohon pembunuh harapan-harapan segar dari manusia bajingan. []