♠ terlahir dari rahim imajinasi yang frustasi,
♠ teracuni belerang-belerang rindu,
♠ tewas di belantara aksara sebab gagal menembus media ...

Selasa, 06 Januari 2015

Gemintang



Rasi orion menyalami pandanganku yang tertuju pada langit. Mungkin juga menyalami pandangannya, bahkan memeluknya. Dapat kulihat dengan jelas dari sini. Sneaker bututnya menopang tubuh maha indah yang mengenakan sweater garis dan rompi jins selutut. Rambut yang terikat karet warna-warni melambai menyahut laluan bis di dekatnya. Kepalanya masih mendongak, bahkan saat motor-motor memperingatkannya dengan klakson. Dia masih kokoh di tengah-tengah persimpangan.
Kepalaku mengetuk pinggiran tembok saat mengintip ritual sucinya. Dulu sekali, ia pernah bilang, kita perlu memperhatikan bintang-bintang agar kita tahu bahwa kita tidak sendirian. Sangat mirip dengan kata-kata C.S Lewis, “Kita membaca untuk mengetahui bahwa kita tidak sendirian.”
Waktu itu aku tertegun. Air mata yang sebelumnya merintik di celanaku seketika berhenti.
“Ear:i’an i’ang-i’ang. r:asa’an ah’a i’a i’ak senir:i’an.”[1] Telunjuknya menuding langit berbintang, tetapi matanya mengawasi rerintik terakhir di pipiku. Setelah ia memastikan aku memahami kata-katanya, ia mengizinkanku menjilat eskrim cokelat dalam genggamannya.
Dia benar, aku tidak sendirian. Orang-orang dulu menjauh karena aku korengan, udik, kerempeng dan bodoh, sekarang aku tahu ada yang lebih tidak punya teman. Nirmala, iya, perempuan yang sedang kupandangi dari kegelapan gang ini.
***
Ada kenangan sesakit duri milik Nirmala yang aku bersedia mengingatnya. Saat pukul delapan di atas bangku SD dengan dongeng terbaik yang ia tulis sendiri dari pensil tumpulnya, Nirmala mendapat kata-kata sengeri tusukan pisau berkarat.
“Mala, dongeng kamu bagus. Sangat bagus. Tetapi saat kamu bacakan, rasanya seperti gesekan biola rusak. Mungkin kamu bisa memilih menjadi tukang sol sepatu dari pada pendongeng.”
Riuh gumam teman-teman menyambut kalimat destruktif Ibu guru yang saat ini telah menjadi almarhumah. Jemariku meraba jemarinya yang diselorohkan ke laci. Berusaha memberi genggaman terhangat untuk menguatkannya. Selalu kuingat wajah Nirmala yang merah padam, namun tetap menampilkan gigi kelinci dalam seutas senyumnya. Aku tahu, Nirmala tak bisa lancar mengucapkan huruf vokal, tapi bukan berarti ada yang bisa semena-mena menebas mimpinya!
Nirmala biasa mendapatkan ejekan dari siapapun yang ia ajak bicara. Tetapi siapa yang mampu menendang gunung kokoh di ruang hatinya?
Termarginalkan, adalah hal yang membuat Nirmala menyukai buku. Menurutnya, tidak masalah bagi buku untuk berbicara pada siapa saja, termasuk gadis sepertinya. Ia ingin mencari semua referensi tentang segala hal dari buku. Bahkan, ia sering mengutipnya untukku. Misalnya saat aku bertanya, mengapa ketika memperhatikan bintang, ia suka berdiri di persimpangan? Aku susah mengingat kalimat versi Nirmala, jadi kutulis menurut versiku. Kira-kira seperti ini.
“Ling, aku menyukai buku. Dia bisa berbicara pada siapa saja meskipun dia tidak punya suara. Aku masih punya suara, Ling, meskipun sangat buruk, tetapi aku ingin berbicara kepada siapa saja.”
“Lalu apa hubungannya dengan berdiri di persimpangan seperti ini?” tanyaku saat ia khusyu’ menengadah, sementara aku di sampingnya berdiri ketakutan pada klakson bis dan mobil-mobil.
“Kata Edwin P. Whipple, buku adalah mercusuar yang berdiri di tepi samudra waktu yang luas. Aku ingin menjadi buku, Ling,” Nirmala menurunkan kepalanya. “Tetapi yang lebih ekstrim.” Kedipnya nakal.
Saat itu sebuah kontainer mendekat, jadi terpaksa kubalas kedipannya dengan tarikan kasar di pergelangannya. “Sudah malam, ayo pulang!” aku menyeretnya di pinggir pertokoan yang mulai tutup. Kaki Nirmala sampai terseok-seok mengikuti gerakan cepatku. “Ling! Astaga, Ling, pelan-pelan! Aduuh.. Angling Dharma!!” aku tertawa nakal sembari menatap lurus ke depan.
Lucu rasanya masih bisa tertawa mengingat kejadian ketika kami masih kanak-kanak, saat sekarang kami telah berjauhan. Nirmala, aku yakin dia tak pernah dibuat kesepian oleh buku, bintang-bintang..
“Nirma, aku harus kuliah di Semarang.” ujarku setahun lalu. Rautnya tak menunjukkan kesedihan. Tetapi gigi kelincinya disembunyikan dalam katupan bibir tipisnya. “Ini, kau bisa menggunakannya untuk mengembangkan Rumah Tualang Ilmu.” Kuletakkan Buku Sekolahnya Manusia karya Munif Chatib di pangkuannya. Kupikir ia akan senang, bisa membacanya untuk sekolah anak jalanan yang kami kelola, tetapi ekspresinya hanya berupa lirikan sebentar. Kemudian matanya kembali menatapku.
“Ling, Abraham Lincoln berkata, sahabat baik bagiku adalah seseorang yang menghadiahiku buku yang belum pernah kubaca.” Ia tersenyum, masih menyembunyikan gigi kelincinya.
Setahun telah merubah segalanya. Rumah Tualang Ilmu kutemukan rata dengan tanah. Ada papan di sampingnya dengan tulisan, “DILARANG MENDIRIKAN BANGUNAN ATAU BERJUALAN DI SEPANJANG/DEPAN TANAH MILIK KELUARGA H. MAIMUN.” Sesak menyeruduk alveolus yang bergelantungan di dadaku. Sebuah tinju besar seolah menghantam bagian terdalam hatiku. Bagaimana dengan Nirmala?
***
Perempuan yang sedari tadi kupandangi kini telah menurunkan kepalanya. Sekarang ia berjalan meloncat-loncat menuju salah satu café di jajaran ruko di belakangnya. Lampu pintu berkedip-kedip menandakan ada seseorang masuk. Ia duduk di meja nomor 6 dan memesan dua eskrim cokelat.
Aku memalingkan muka dari kaca café. Dua eskrim? Apakah ia sedang ada janji dengan seseorang? Apakah itu pacarnya? Desis kekhawatiran membisiki kepalaku. Apakah Nirmala sudah punya pacar?
Nyaris saja aku mengintipnya lagi saat sebuah tangan berbalut sweater bergaris sebatas pergelangan menutupi pandanganku. Kemudian gigi kelinci yang demikian cemerlang menyilaukan mataku. Nirmala berdiri di depan pintu masuk, membuat lampu di atasnya mengedip tanpa henti.
“Mau es’r:im o’ak?” Nirmala menyeret tas punggungku ke dalam café tanpa menunggu persetujuan dariku.
“Kau tahu aku disini?” pupilku membesar 45% dari biasanya. Melihatnya baik-baik saja-bahkan luar biasa-seperti ini membuat moodku terisi ulang pasca kesedihan yang mendalam atas nasib Rumah Tualang Ilmu.
“A’aima’a i’ak? A’u sem’ak meiak sayap-sayap’u er’iau, I’u per:a’a ‘au ak a’uh ar:i’u”[2] Nirmala pura-pura menoleh punggungya seolah-olah ada sepasang sayap di sana. Ia menggeser salah satu gelas eskrim ke hadapanku.
“Memangnya kita Tinkerbell dan Periwinkle?” kataku membalas guyonannya.
“Ahahaha. I’ak ok. A’i a’u iak ‘a’u me’e’ap-e’ap ‘i ang.”[3] Nirmala terkekeh, lalu menjilat eskrimnya dengan sadis. Sesekali sendoknya mengaduk-aduk gelas di depannya yang semakin kosong. Aku memperhatikannya terlalu asyik hingga gelasku sendiri nyaris tak tersentuh.
“A’o ak mau, iar: au a’a yang a’isin unya Ying.”[4] celetuknya tanpa melihatku, bahkan ia asyik menjilati sendoknya.
“Yee, jarang-jarang tau ditraktir Nirmala kayak gini.” cepat-cepat kukosongkan gelasku. “Taraaa.. habis!” Aku meninju udara di atasku, dengan juluran lidah ke arah Nirmala yang sudah menganggur dari tadi.
“E’ima ’asih, Ying, u’ah mau a’isin e’r:im’a.”[5] Nirmala menopangkan dua kepalan kembarnya di dagu. Poni tipis yang berjatuhan di dahinya bergerak-gerak saat ia berbicara, membuat wajahnya terlihat sangat hidup, lucu, penuh atraksi. Apabila orang lain melihatnya pasti tidak akan mengira ia cacat dalam berbicara. Semangatnya sungguh menyala. Beginilah alasan kenapa Nirmala selalu kukagumi, selalu kurindui.
***
Aku menendang kerikil yang mencuat dari jalanan. Gigiku bergemeretak. Betapa aku telah melakukan sesuatu yang sangat kejam bagi Nirmala. Semenjak aku pergi, tak ada yang segan kepadanya lagi. Sebagian besar mengejek kelemahannya. Sebagian lagi menyerah ketika berbicara dengannya.
“Nak Angling, kamu itu sudah dianggap sebagai penerjemahnya Nirmala. Ibu berterima kasih kalau kamu mau jadi orang kedua yang menjaga Nirmala setelah ibu.” Kalimat Ibu Nirmala bagai wasiat yang kuabaikan. Baru dua tahun beliau meninggal, tetapi aku sudah mengkhianati kepercayaannya. Ingin kusalahkan beasiswa yang memisahkanku dari Nirmala. Ingin kusalahkan segala-gala yang membuatku jadi pergi saat itu.
Aku menengadah, berkali-kali meminta maaf pada bintang karena malam ini kubuat Nirmala menangis. Kupaksa ia menceritakan hal terberat selama aku pergi. Dari penuturannya kubayangkan Rumah Tualang Ilmu diserang beberapa laki-laki yang membawa belati di balik wajah ramah mereka. Tiang-tiangnya yang dulu kubangun dengan kayu bekas pemberian pak RT dipotong-potong, kemudian dibakar. Mereka memanggang ayam dan membakar jagung di atasnya. Saat itu Nirmala melawan, mengoceh dengan kalimat tidak jelasnya. Salah seorang pria berkupluk mengikatnya di batang pohon dan menutup mulutnya menggunakan lakban. Katanya, suara Nirmala lebih buruk dari ocehan anak tokek.
Nirmala menendang-nendang pria itu. Berusaha menjerit dengan segala kata yang bisa merembes dari sekapan lakban. Seorang lagi tidak tahan dengan perlawanan Nirmala. Dia mendekati Nirmala dengan sebilah belati. Karena ia tak diijinkan melukai siapapun, maka pria itu menjambak rambut Nirmala. Menyesek beberapa petak dengan tidak rata. Nirmala tak hanya diam, ia menendang perut, kaki bahkan selangkangan pria itu. Sampai akhirnya pemilik tanah itu datang, membubarkan pesta penderitaan bagi Nirmala tanpa mengucap sepatah katapun pada Nirmala. Bahkan Nirmala ditinggalkan tanpa dilepaskan dari ikatannya. Belakangan baru kutahu, H. Maimun adalah suami dari almarhumah Ibu guru yang pernah menorehkan kenangan buruk pada masa lalu Nirmala.
Aliran darahku terasa panas, menderas tiba-tiba. Bagaimana bisa aku tidak ada disana? Bagaimana bisa Nirmala disakiti, direndahkan bahkan dipermainkan sementara aku tidak tahu?
Tadi Nirmala sempat melepas ikatan kuncirnya, memperlihatkan kepadaku sesekan-sesekan kejam yang merusak rambut indahnya. Sungguh, aku tidak kuasa melihatnya.
“Au i’a’a in’ang, Ying.”[6] isaknya terakhir kali, saat kusalahkan diriku dihadapan Nirmala.
***
Malam-malam liburan di Kudus kuhabiskan untuk memeluk bintang di persimpangan bersama Nirmala. Ia yang telah menjadi kakak asuh di sebuah panti asuhan membuat jam-jam kebersamaan kami sedikit tersita. Sehingga sisanya, kami gunakan untuk menjarah ilmu di perpustakaan umum. Bahkan Nirmala sampai menginap disana saking lelahnya. Kali ini Nirmala berkeliling ke setiap sudut rak, memperhatikan penataan bukunya.
“Mau jadi petugas perpus ya, Bu?” ledekku saat Nirmala menghitung lebar keramik yang dihabiskan oleh sepasang rak. Keisenganku hanya dijawab oleh cengiran gigi kelincinya, sementara ia masih serius meneliti segala hal yang berkaitan dengan ruang baca.
Sampai saat ia kelelahan, ia memutuskan untuk merebahkan pantatnya di kursi berlengan yang terlihat istimewa di sudut meja. Tangannya membentangkan Matilda karya Road Dahl hingga menutupi hidungnya.
“Tumben baca Road Dahl cetakan lama?”
“Ar:e’a a’u er:i’i’r:asi sama yang Om Oa’ Ahl i’ang, sing’ir:’a’ah e’evisimu! I’em’a’nya a’i amu a’a’ memasang r:ak u’u yang a’ik.”[7]
Aku yang faham maksud Nirmala dari quotes Road Dahl tersebut cepat-cepat bertanya, “Mau nyingkirin teve panti asuhan?”
Nirmala menjawabnya dengan kedipan dan senyum gigi kelinci, aku melongo.
***
“Au ingi a’i e’ongeng, Ying.”[8]
Nirmala menunduk. Lututnya dipeluk. Di pinggir deras sungai tambak ia mengisak. Aku berdiri di dekatnya sembari melemparkan kerikil-kerikil pipih yang bisa meloncat dua-tiga kali di air. Sudah lama aku mengetahui cita-cita Nirmala itu, dan selama itulah aku khawatir Nirmala akan down ketika menyadari kekurangannya tak membaik, bahkan menjadi cacat fatal.
“Lalu apa yang kamu resahkan, Nir?”
“Uma amu yang faham a’a-a’a’u, Ying.”[9]
Tentu saja aku faham yang ia maksud. Nirmala tak sungguh-sungguh mempermasalahkan keadaannya, ia hanya berkeberatan atas kepergianku untuk kembali kuliah. Sebenarnya begitupun juga aku. Aku mengkhawatirkan Nirmala mengalami tahun yang buruk lagi gara-gara ketidakhadiranku di sisinya. Tetapi aku telah berjanji pada Nirmala sebelum aku berangkat dulu, bahwa aku sudah jadi sarjana, ketika melamar dan menikahinya nanti.
Kuputuskan untuk membuat pernyataan sederhana untuk menguatkannya, yang entah bertahan sampai berapa lama.
“Helen Keller yang buta bisu tuli saja bisa menjadi orang sukses, mengembangkan Braille untuk para tuna netra, motivator dunia. Keadaanmu jauh lebih baik dari Keller, Nirmala.” kurengkuh bahu Nirmala yang tertutup blus merah hati dan tali rompi jins biasanya. Seperti saat ia mendengar kata-kata ibu guru almarhumah dulu, lagi-lagi aku berusaha mengaliri tubuhnya dengan kekuatan positifku.
“Nirmala, jika dunia tak bisa mendengar suaramu, maka tulislah. Jangan biarkan hidupmu menjadi dongeng yang tak terbukukan.”
***
Tiga tahun berlalu, aku sudah menjadi sarjana. Dan hari ini aku berkunjung ke panti asuhan tempat Nirmala menjadi kakak asuh. Tak main-main, rak buku menjulang sampai ternit. Untuk menjangkaunya harus menggunakan tangga kayu yang sudah didesain aman untuk anak-anak. Kata Nirmala, semua ini didapatkan melalui pengadaan fasilitas oleh pemerintah dari proposal yang ia buat.
Kurang lebih ada sepuluh ribu buku dalam ruangan yang lumayan sempit. Setiap rak mempunyai kode untuk masing-masing jenis buku. Bukannya digit angka tetapi kata-kata santun untuk melambangkan jenis buku. BERIMAN untuk buku konsep keagamaan, BERTAQWA untuk buku implementasi keagamaan, BERBAKTI untuk buku hubungan dengan orang lain, BERKARAKTER untuk buku pengembangan pribadi dan sebagainya.
Rak-rak ditata bagai labirin yang setiap lewat akan merasakan sensasi hidup dalam kepungan buku. Di tiap sudut perpustakaan disediakan katalog dan computer. Sementara itu di sisi-sisi perpustakaan terdapat tempelan-tempelan kertas A4 berisi coretan dongeng karya anak-anak. Kata Nirmala, setiap anak boleh melanjutkan ceritanya dengan menulisnya di atas kertas kemudian menempelkannya disini. Jadi semacam dongeng berantai yang apabila telah mencapai ending akan dibukukan. Kata Nirmala, sudah ada sebelas buku dongeng berantai. Sementara Nirmala, telah mendapatkan penghargaan MURI sebagai pemberi fasilitas dongeng berantai bagi anak-anak yatim piatu di panti asuhan ini.
 Di hamparan ternit terpasang kata mutiara dari beberapa ilmuwan, yang sebagian besar tentu saja, sudah pernah kudengar lewat bibir mungil Nirmala dahulu. Tetapi mataku tertuju pada satu quotes yang namanya terdengar ganjil.
“Menulislah, jangan biarkan hidupmu menjadi dongeng yang tak terbukukan.” – D. Malangling
Malangling?
Ternit yang menjadi alas kata-kata itu berpola anak panah, menunjuk pada sebuah pintu yang sedikit terbuka. Kulihat sebuah anjungan di lantai dua itu terpagari lampu-lampu berbentuk bintang.
Dan gadis berompi jins itu berdiri di pinggirnya, lagi-lagi menengadah ke langit.
“Nirma?”
“E’ang’ah, Ying. Au e’ang i’e’uk i’ang.”[10]
***

[1] Perhatikan bintang-bintang, rasakan bahwa kita tidak sendirian.
[2] Bagaimana tidak, aku sempat melihat sayap-sayapku berkilau, itu pertanda kau tak jauh dariku.
[3] Tidak kok, tadi aku liat kamu mengendap-endap di gang.”
[4] Kalo tidak mau biar aku saja yang habisin punya Ling.
[5] Terimakasih, Ling, sudah mau ngabisin eskrimnya.”
[6] Aku dijaga bintang, Ling.
[7] Karena aku terinspirasi sama yang Om Road Dahl bilang, singkirkanlah televisimu! Ditempatnya nanti kamu akan memasang rak buku yang cantik.
[8] Aku ingin jadi pendongeng, Ling.
[9] Cuma kamu yang faham kata-kataku, Ling
[10] Tenanglah, Ling, aku sedang dipeluk Bintang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar