Rasi
orion menyalami pandanganku yang tertuju pada langit. Mungkin juga menyalami
pandangannya, bahkan memeluknya. Dapat kulihat dengan jelas dari sini. Sneaker
bututnya menopang tubuh maha indah yang mengenakan sweater garis dan rompi jins
selutut. Rambut yang terikat karet warna-warni melambai menyahut laluan bis di
dekatnya. Kepalanya masih mendongak, bahkan saat motor-motor memperingatkannya
dengan klakson. Dia masih kokoh di tengah-tengah persimpangan.
Kepalaku
mengetuk pinggiran tembok saat mengintip ritual sucinya. Dulu sekali, ia pernah
bilang, kita perlu memperhatikan bintang-bintang agar kita tahu bahwa kita tidak
sendirian. Sangat mirip dengan kata-kata C.S Lewis, “Kita membaca untuk
mengetahui bahwa kita tidak sendirian.”
Waktu
itu aku tertegun. Air mata yang sebelumnya merintik di celanaku seketika
berhenti.
“Ear:i’an
i’ang-i’ang. r:asa’an ah’a i’a i’ak senir:i’an.”[1]
Telunjuknya menuding langit berbintang, tetapi matanya mengawasi rerintik
terakhir di pipiku. Setelah ia memastikan aku memahami kata-katanya, ia mengizinkanku
menjilat eskrim cokelat dalam genggamannya.
Dia
benar, aku tidak sendirian. Orang-orang dulu menjauh karena aku korengan, udik,
kerempeng dan bodoh, sekarang aku tahu ada yang lebih tidak punya teman.
Nirmala, iya, perempuan yang sedang kupandangi dari kegelapan gang ini.
***
Ada
kenangan sesakit duri milik Nirmala yang aku bersedia mengingatnya. Saat pukul
delapan di atas bangku SD dengan dongeng terbaik yang ia tulis sendiri dari
pensil tumpulnya, Nirmala mendapat kata-kata sengeri tusukan pisau berkarat.
“Mala,
dongeng kamu bagus. Sangat bagus. Tetapi saat kamu bacakan, rasanya seperti gesekan
biola rusak. Mungkin kamu bisa memilih menjadi tukang sol sepatu dari pada
pendongeng.”
Riuh
gumam teman-teman menyambut kalimat destruktif Ibu guru yang saat ini telah
menjadi almarhumah. Jemariku meraba jemarinya yang diselorohkan ke laci. Berusaha
memberi genggaman terhangat untuk menguatkannya. Selalu kuingat wajah Nirmala yang
merah padam, namun tetap menampilkan gigi kelinci dalam seutas senyumnya. Aku
tahu, Nirmala tak bisa lancar mengucapkan huruf vokal, tapi bukan berarti ada
yang bisa semena-mena menebas mimpinya!
Nirmala
biasa mendapatkan ejekan dari siapapun yang ia ajak bicara. Tetapi siapa yang
mampu menendang gunung kokoh di ruang hatinya?
Termarginalkan,
adalah hal yang membuat Nirmala menyukai buku. Menurutnya, tidak masalah bagi
buku untuk berbicara pada siapa saja, termasuk gadis sepertinya. Ia ingin mencari
semua referensi tentang segala hal dari buku. Bahkan, ia sering mengutipnya
untukku. Misalnya saat aku bertanya, mengapa ketika memperhatikan bintang, ia
suka berdiri di persimpangan? Aku susah mengingat kalimat versi Nirmala, jadi
kutulis menurut versiku. Kira-kira seperti ini.
“Ling,
aku menyukai buku. Dia bisa berbicara pada siapa saja meskipun dia tidak punya
suara. Aku masih punya suara, Ling, meskipun sangat buruk, tetapi aku ingin
berbicara kepada siapa saja.”
“Lalu
apa hubungannya dengan berdiri di persimpangan seperti ini?” tanyaku saat ia
khusyu’ menengadah, sementara aku di sampingnya berdiri ketakutan pada klakson
bis dan mobil-mobil.
“Kata
Edwin P. Whipple, buku adalah mercusuar yang berdiri di tepi samudra waktu yang
luas. Aku ingin menjadi buku, Ling,” Nirmala menurunkan kepalanya. “Tetapi yang
lebih ekstrim.” Kedipnya nakal.
Saat
itu sebuah kontainer mendekat, jadi terpaksa kubalas kedipannya dengan tarikan kasar
di pergelangannya. “Sudah malam, ayo pulang!” aku menyeretnya di pinggir
pertokoan yang mulai tutup. Kaki Nirmala sampai terseok-seok mengikuti gerakan
cepatku. “Ling! Astaga, Ling, pelan-pelan! Aduuh.. Angling Dharma!!” aku
tertawa nakal sembari menatap lurus ke depan.
Lucu
rasanya masih bisa tertawa mengingat kejadian ketika kami masih kanak-kanak, saat
sekarang kami telah berjauhan. Nirmala, aku yakin dia tak pernah dibuat kesepian
oleh buku, bintang-bintang..
“Nirma,
aku harus kuliah di Semarang.” ujarku setahun lalu. Rautnya tak menunjukkan
kesedihan. Tetapi gigi kelincinya disembunyikan dalam katupan bibir tipisnya. “Ini,
kau bisa menggunakannya untuk mengembangkan Rumah Tualang Ilmu.” Kuletakkan
Buku Sekolahnya Manusia karya Munif Chatib di pangkuannya. Kupikir ia akan
senang, bisa membacanya untuk sekolah anak jalanan yang kami kelola, tetapi
ekspresinya hanya berupa lirikan sebentar. Kemudian matanya kembali menatapku.
“Ling,
Abraham Lincoln berkata, sahabat baik bagiku adalah seseorang yang
menghadiahiku buku yang belum pernah kubaca.” Ia tersenyum, masih
menyembunyikan gigi kelincinya.
Setahun
telah merubah segalanya. Rumah Tualang Ilmu kutemukan rata dengan tanah. Ada
papan di sampingnya dengan tulisan, “DILARANG MENDIRIKAN BANGUNAN ATAU
BERJUALAN DI SEPANJANG/DEPAN TANAH MILIK KELUARGA H. MAIMUN.” Sesak menyeruduk
alveolus yang bergelantungan di dadaku. Sebuah tinju besar seolah menghantam
bagian terdalam hatiku. Bagaimana dengan Nirmala?
***
Perempuan
yang sedari tadi kupandangi kini telah menurunkan kepalanya. Sekarang ia
berjalan meloncat-loncat menuju salah satu café di jajaran ruko di belakangnya.
Lampu pintu berkedip-kedip menandakan ada seseorang masuk. Ia duduk di meja
nomor 6 dan memesan dua eskrim cokelat.
Aku
memalingkan muka dari kaca café. Dua eskrim? Apakah ia sedang ada janji dengan
seseorang? Apakah itu pacarnya? Desis kekhawatiran membisiki kepalaku. Apakah
Nirmala sudah punya pacar?
Nyaris
saja aku mengintipnya lagi saat sebuah tangan berbalut sweater bergaris sebatas
pergelangan menutupi pandanganku. Kemudian gigi kelinci yang demikian cemerlang
menyilaukan mataku. Nirmala berdiri di depan pintu masuk, membuat lampu di
atasnya mengedip tanpa henti.
“Mau
es’r:im o’ak?” Nirmala menyeret tas punggungku ke dalam café tanpa menunggu
persetujuan dariku.
“Kau
tahu aku disini?” pupilku membesar 45% dari biasanya. Melihatnya baik-baik
saja-bahkan luar biasa-seperti ini membuat moodku terisi ulang pasca kesedihan
yang mendalam atas nasib Rumah Tualang Ilmu.
“A’aima’a
i’ak? A’u sem’ak meiak sayap-sayap’u er’iau, I’u per:a’a ‘au ak a’uh ar:i’u”[2]
Nirmala pura-pura menoleh punggungya seolah-olah ada sepasang sayap di sana. Ia
menggeser salah satu gelas eskrim ke hadapanku.
“Memangnya
kita Tinkerbell dan Periwinkle?” kataku membalas guyonannya.
“Ahahaha.
I’ak ok. A’i a’u iak ‘a’u me’e’ap-e’ap ‘i ang.”[3]
Nirmala terkekeh, lalu menjilat eskrimnya dengan sadis. Sesekali sendoknya
mengaduk-aduk gelas di depannya yang semakin kosong. Aku memperhatikannya
terlalu asyik hingga gelasku sendiri nyaris tak tersentuh.
“A’o
ak mau, iar: au a’a yang a’isin unya Ying.”[4]
celetuknya tanpa melihatku, bahkan ia asyik menjilati sendoknya.
“Yee,
jarang-jarang tau ditraktir Nirmala kayak gini.” cepat-cepat kukosongkan
gelasku. “Taraaa.. habis!” Aku meninju udara di atasku, dengan juluran lidah ke
arah Nirmala yang sudah menganggur dari tadi.
“E’ima
’asih, Ying, u’ah mau a’isin e’r:im’a.”[5]
Nirmala menopangkan dua kepalan kembarnya di dagu. Poni tipis yang berjatuhan
di dahinya bergerak-gerak saat ia berbicara, membuat wajahnya terlihat sangat
hidup, lucu, penuh atraksi. Apabila orang lain melihatnya pasti tidak akan
mengira ia cacat dalam berbicara. Semangatnya sungguh menyala. Beginilah alasan
kenapa Nirmala selalu kukagumi, selalu kurindui.
***
Aku
menendang kerikil yang mencuat dari jalanan. Gigiku bergemeretak. Betapa aku
telah melakukan sesuatu yang sangat kejam bagi Nirmala. Semenjak aku pergi, tak
ada yang segan kepadanya lagi. Sebagian besar mengejek kelemahannya. Sebagian
lagi menyerah ketika berbicara dengannya.
“Nak
Angling, kamu itu sudah dianggap sebagai penerjemahnya Nirmala. Ibu berterima
kasih kalau kamu mau jadi orang kedua yang menjaga Nirmala setelah ibu.”
Kalimat Ibu Nirmala bagai wasiat yang kuabaikan. Baru dua tahun beliau meninggal,
tetapi aku sudah mengkhianati kepercayaannya. Ingin kusalahkan beasiswa yang
memisahkanku dari Nirmala. Ingin kusalahkan segala-gala yang membuatku jadi
pergi saat itu.
Aku
menengadah, berkali-kali meminta maaf pada bintang karena malam ini kubuat
Nirmala menangis. Kupaksa ia menceritakan hal terberat selama aku pergi. Dari
penuturannya kubayangkan Rumah Tualang Ilmu diserang beberapa laki-laki yang
membawa belati di balik wajah ramah mereka. Tiang-tiangnya yang dulu kubangun
dengan kayu bekas pemberian pak RT dipotong-potong, kemudian dibakar. Mereka
memanggang ayam dan membakar jagung di atasnya. Saat itu Nirmala melawan,
mengoceh dengan kalimat tidak jelasnya. Salah seorang pria berkupluk
mengikatnya di batang pohon dan menutup mulutnya menggunakan lakban. Katanya,
suara Nirmala lebih buruk dari ocehan anak tokek.
Nirmala
menendang-nendang pria itu. Berusaha menjerit dengan segala kata yang bisa merembes
dari sekapan lakban. Seorang lagi tidak tahan dengan perlawanan Nirmala. Dia
mendekati Nirmala dengan sebilah belati. Karena ia tak diijinkan melukai
siapapun, maka pria itu menjambak rambut Nirmala. Menyesek beberapa petak
dengan tidak rata. Nirmala tak hanya diam, ia menendang perut, kaki bahkan selangkangan
pria itu. Sampai akhirnya pemilik tanah itu datang, membubarkan pesta
penderitaan bagi Nirmala tanpa mengucap sepatah katapun pada Nirmala. Bahkan
Nirmala ditinggalkan tanpa dilepaskan dari ikatannya. Belakangan baru kutahu,
H. Maimun adalah suami dari almarhumah Ibu guru yang pernah menorehkan kenangan
buruk pada masa lalu Nirmala.
Aliran
darahku terasa panas, menderas tiba-tiba. Bagaimana bisa aku tidak ada disana?
Bagaimana bisa Nirmala disakiti, direndahkan bahkan dipermainkan sementara aku
tidak tahu?
Tadi
Nirmala sempat melepas ikatan kuncirnya, memperlihatkan kepadaku
sesekan-sesekan kejam yang merusak rambut indahnya. Sungguh, aku tidak kuasa
melihatnya.
“Au
i’a’a in’ang, Ying.”[6]
isaknya terakhir kali, saat kusalahkan diriku dihadapan Nirmala.
***
Malam-malam
liburan di Kudus kuhabiskan untuk memeluk bintang di persimpangan bersama
Nirmala. Ia yang telah menjadi kakak asuh di sebuah panti asuhan membuat
jam-jam kebersamaan kami sedikit tersita. Sehingga sisanya, kami gunakan untuk
menjarah ilmu di perpustakaan umum. Bahkan Nirmala sampai menginap disana
saking lelahnya. Kali ini Nirmala berkeliling ke setiap sudut rak,
memperhatikan penataan bukunya.
“Mau
jadi petugas perpus ya, Bu?” ledekku saat Nirmala menghitung lebar keramik yang
dihabiskan oleh sepasang rak. Keisenganku hanya dijawab oleh cengiran gigi
kelincinya, sementara ia masih serius meneliti segala hal yang berkaitan dengan
ruang baca.
Sampai
saat ia kelelahan, ia memutuskan untuk merebahkan pantatnya di kursi berlengan
yang terlihat istimewa di sudut meja. Tangannya membentangkan Matilda karya
Road Dahl hingga menutupi hidungnya.
“Tumben
baca Road Dahl cetakan lama?”
“Ar:e’a
a’u er:i’i’r:asi sama yang Om Oa’ Ahl i’ang, sing’ir:’a’ah e’evisimu! I’em’a’nya
a’i amu a’a’ memasang r:ak u’u yang a’ik.”[7]
Aku
yang faham maksud Nirmala dari quotes Road Dahl tersebut cepat-cepat bertanya, “Mau
nyingkirin teve panti asuhan?”
Nirmala
menjawabnya dengan kedipan dan senyum gigi kelinci, aku melongo.
***
“Au
ingi a’i e’ongeng, Ying.”[8]
Nirmala
menunduk. Lututnya dipeluk. Di pinggir deras sungai tambak ia mengisak. Aku
berdiri di dekatnya sembari melemparkan kerikil-kerikil pipih yang bisa
meloncat dua-tiga kali di air. Sudah lama aku mengetahui cita-cita Nirmala itu,
dan selama itulah aku khawatir Nirmala akan down ketika menyadari
kekurangannya tak membaik, bahkan menjadi cacat fatal.
“Lalu
apa yang kamu resahkan, Nir?”
“Uma
amu yang faham a’a-a’a’u, Ying.”[9]
Tentu
saja aku faham yang ia maksud. Nirmala tak sungguh-sungguh mempermasalahkan
keadaannya, ia hanya berkeberatan atas kepergianku untuk kembali kuliah.
Sebenarnya begitupun juga aku. Aku mengkhawatirkan Nirmala mengalami tahun yang
buruk lagi gara-gara ketidakhadiranku di sisinya. Tetapi aku telah berjanji
pada Nirmala sebelum aku berangkat dulu, bahwa aku sudah jadi sarjana, ketika melamar
dan menikahinya nanti.
Kuputuskan
untuk membuat pernyataan sederhana untuk menguatkannya, yang entah bertahan
sampai berapa lama.
“Helen
Keller yang buta bisu tuli saja bisa menjadi orang sukses, mengembangkan
Braille untuk para tuna netra, motivator dunia. Keadaanmu jauh lebih baik dari
Keller, Nirmala.” kurengkuh bahu Nirmala yang tertutup blus merah hati dan tali
rompi jins biasanya. Seperti saat ia mendengar kata-kata ibu guru almarhumah
dulu, lagi-lagi aku berusaha mengaliri tubuhnya dengan kekuatan positifku.
“Nirmala,
jika dunia tak bisa mendengar suaramu, maka tulislah. Jangan biarkan hidupmu
menjadi dongeng yang tak terbukukan.”
***
Tiga
tahun berlalu, aku sudah menjadi sarjana. Dan hari ini aku berkunjung ke panti
asuhan tempat Nirmala menjadi kakak asuh. Tak main-main, rak buku menjulang
sampai ternit. Untuk menjangkaunya harus menggunakan tangga kayu yang sudah
didesain aman untuk anak-anak. Kata Nirmala, semua ini didapatkan melalui
pengadaan fasilitas oleh pemerintah dari proposal yang ia buat.
Kurang
lebih ada sepuluh ribu buku dalam ruangan yang lumayan sempit. Setiap rak
mempunyai kode untuk masing-masing jenis buku. Bukannya digit angka tetapi
kata-kata santun untuk melambangkan jenis buku. BERIMAN untuk buku konsep
keagamaan, BERTAQWA untuk buku implementasi keagamaan, BERBAKTI untuk buku hubungan
dengan orang lain, BERKARAKTER untuk buku pengembangan pribadi dan sebagainya.
Rak-rak
ditata bagai labirin yang setiap lewat akan merasakan sensasi hidup dalam
kepungan buku. Di tiap sudut perpustakaan disediakan katalog dan computer.
Sementara itu di sisi-sisi perpustakaan terdapat tempelan-tempelan kertas A4
berisi coretan dongeng karya anak-anak. Kata Nirmala, setiap anak boleh
melanjutkan ceritanya dengan menulisnya di atas kertas kemudian menempelkannya
disini. Jadi semacam dongeng berantai yang apabila telah mencapai ending
akan dibukukan. Kata Nirmala, sudah ada sebelas buku dongeng berantai.
Sementara Nirmala, telah mendapatkan penghargaan MURI sebagai pemberi fasilitas
dongeng berantai bagi anak-anak yatim piatu di panti asuhan ini.
Di hamparan ternit terpasang kata mutiara dari
beberapa ilmuwan, yang sebagian besar tentu saja, sudah pernah kudengar lewat
bibir mungil Nirmala dahulu. Tetapi mataku tertuju pada satu quotes yang
namanya terdengar ganjil.
“Menulislah,
jangan biarkan hidupmu menjadi dongeng yang tak terbukukan.” – D. Malangling
Malangling?
Ternit
yang menjadi alas kata-kata itu berpola anak panah, menunjuk pada sebuah pintu
yang sedikit terbuka. Kulihat sebuah anjungan di lantai dua itu terpagari lampu-lampu
berbentuk bintang.
Dan
gadis berompi jins itu berdiri di pinggirnya, lagi-lagi menengadah ke langit.
“Nirma?”
“E’ang’ah,
Ying. Au e’ang i’e’uk i’ang.”[10]
***
[1] Perhatikan
bintang-bintang, rasakan bahwa kita tidak sendirian.
[2] Bagaimana
tidak, aku sempat melihat sayap-sayapku berkilau, itu pertanda kau tak jauh
dariku.
[3] Tidak kok, tadi
aku liat kamu mengendap-endap di gang.”
[4] Kalo tidak mau
biar aku saja yang habisin punya Ling.
[5] Terimakasih,
Ling, sudah mau ngabisin eskrimnya.”
[6] Aku dijaga
bintang, Ling.
[7] Karena aku
terinspirasi sama yang Om Road Dahl bilang, singkirkanlah televisimu!
Ditempatnya nanti kamu akan memasang rak buku yang cantik.
[8] Aku ingin jadi
pendongeng, Ling.
[9] Cuma kamu yang
faham kata-kataku, Ling
Tidak ada komentar:
Posting Komentar