Namanya Kunang. Teman bermain kelereng puluhan tahun lalu.
Aku masih ingat betul, bagaimana caranya menangis yang sungguh manja bila kalah
bermain. Bagaimana caranya menyeka air mata menggunakan ujung bajunya yang
belepotan pasir. Lalu pasir-pasir itu ikut masuk, membuat matanya semerah sumba
layangan. Untuk beberapa saat ia mengucek-ucek mata dengan ujung baju satunya.
Karena tak ada perkembangan, terdengarlah panggilan alam yang membahana. Lalu
ibu Kunang tergopoh-gopoh keluar rumah menuju lapangan. Mencomot bokong Kunang
dan menggendongnya.
Orang tua Kunang bukanlah orang asli kampung ini. Ayahnya
seorang dokter, yang tempat kerjanya pindah-pindah sesuai mandat atasan.
Sementara ibunya berjualan tas di internet. Karir mereka sangat bagus. Beda
sekali dengan orang tuaku. Hanya pekerja serabutan yang tak mengenal beratnya
jenis pekerjaan. Tak peduli pula apakah upah yang diberikan sepadan dengan
keringat yang keluarkan atau tidak. Tiap kali aku bertanya kepada ayah kenapa
kita tidak sekaya Kunang, ayah hanya tersenyum misterius.
Kunang sendiri, adalah anak laki-laki yang mendapatkan
segalanya dengan mudah. Ia tinggal berkata apa maunya, lalu sekejap kemudian
permintaannya terkabul. Merengek, adalah bencana bagi orang tua Kunang. Karena
Kunang bisa saja menghancurkan perabot-perabot mahal yang terpajang di rumah
mereka. Bahkan Kunang pernah memukuli Mbok Piji dengan garpu tanah ketika ia
minta sarapan dengan burger saat ayah-ibunya pergi ke luar kota. Saat
itu Mbok Piji sedang merapikan kebun dekat lapangan tempat kami biasa bermain
kelereng. Karena Mbok Piji hanya tukang masak dari kampung, ia tak bisa
menuruti permintaan majikan kecilnya itu. Ia hanya pasrah saat Kunang menarik
paksa garpu tanah dari genggaman Mbok Piji. Beberapa saat kemudian, Mbok Piji bergulung-gulung
di atas cairan merah. Kedua tangannya menutupi wajah. Lalu sebuah bola mata
yang sudah lama divonis katarak itu menggelinding mengikuti gerak kesakitan
pemiliknya.
Kunang tidak dihukum. Mbok Piji dipulangkan dengan pesangon
yang besar. Berita meresahkan itu menyebar begitu cepat. Kunang didatangi
beberapa perangkat desa. Kunang hanya mengaku meniru adegan dari sebuah game
bunuh-bunuhan yang biasa ia mainkan. Pak RT terkejut setengah mati. Bagaimana
bisa, seorang Kunang yang melihat tetangga saja takut, bisa melakukan hal
berbahaya kepada pembantunya hanya karena sebuah game.
Tiga hari setelah itu, warga menandatangani sebuah surat yang
menyatakan bahwa warga setuju jika keluarga Kunang meninggalkan kampung itu.
Insiden Mbok Piji yang tak melewati jalur hukum itu sungguh keterlaluan dan
sangat meresahkan. Warga yang mengumpat sosok Kunang, hari itu ramai-ramai
menuju rumah Kunang. Sialnya, ayah Kunang keluar dengan penampilan menyebalkan.
Ia memakai mantel yang sangat mahal. Tangan kirinya menyeret koper besar.
Sebuah mobil berkaca hitam keluar dari garasi. Sebelum warga sempat
mengusirnya, dokter itu lebih dahulu berpamitan. Mereka pindah karena
pekerjaan. Dan sekali lagi, keluarga Kunang membungkam warga yang geram.
***
Dua puluh lima tahun terasa hanya sekedipan mata. Kunang
berjalan di jalanan yang masih sama semenjak ia pergi. Orang-orang tua yang
dahulu bersepakat mengusirnya sudah meninggal satu per satu. Kini orang-orang
melihat lewat penampilan penuh wibawa yang dikenakannya. Ranselnya lebih besar
dari pelancong yang pernah melewati jalan ini. Ia sungguh gagah. Tetapi aku
memandangnya dengan perasaan yang sama ketika ia bermain kelereng bersamaku.
Koper besar yang ia seret di atas aspal
berdecit memilukan di telingaku. Rasanya bencana telah kembali.
Ia mengajar di SD kami dahulu, SD Tunas. Semua anak-anak
mengerubutinya. Berebut menjabat tangannya. Setiap ia berjalan, terdengar
suara-suara kecil memanggil namanya dari kejauhan. Maklum, guru baru. Aku pun
pernah mengalaminya saat aku baru beberapa hari mengajar di sana. Tapi hanya
bertahan beberapa hari. Sedangkan Kunang? Satu semester hampir berlalu. Tapi ia
masih guru baru. Masih diidolakan murid-muridku.
Bagiku, Kunang masih seorang lelaki yang kalah adu kelereng.
Masih bisa kudengar tangis dibuat-buatnya tiap kali ia kalah. Memintaku untuk
memberi ia kesempatan bermain lagi. Sungguh menyedihkan.
Aku pernah sengaja minta diberi jatah melakukan supervisi di
kelas yang diampu Kunang. Secara pribadi, jujur, Kunang menyebalkan. Aku
penasaran, sihir apa yang dimainkannya di kelas?
Lalu aku melakukannya. Berjalan dengan kewibawaan penuh
seperti seorang wakil kepala sekolah yang tulus melakukan supervisi kunjungan
kelas untuk para guru. Kakiku masih beberapa kaki menuju kelasnya. Tapi riuh
itu sudah terdengar, sangat memekakkan telinga. Aku semakin merasa punya alasan
untuk mengetuk pintu dan menyalahkannya.
Tapi tidak, bertahun-tahun aku bertekad menjadi guru yang
berdedikasi tinggi. Berkualitas lahir-batin. Berwibawa tak hanya dari
penampilan namun juga kekayaan budi. Aku selalu memperlakukan sejawat seperti
teman sepermainan. Aku merasa kami harus sama-sama adil ketika bermain. Tak
boleh ada kecurangan. Tak boleh ada kelemahan manusiawi yang membuat kita
memaklumi ketidakadilan.
Tepat di pintu kelas Bahasa Indonesia yang diampu Kunang,
tiba-tiba kepalaku pening. Entah kenapa aku merasa tersedot ke masa dua puluh
lima tahun lalu. Aku menatap Kunang kecil yang ingusan, cengeng, suka curang,
dan suka merengek minta diijinkan bermain kembali sewaktu kalah. Waktu itu aku
diam. Tapi sekarang, rasanya aku lebih dewasa untuk menyalahkannya. Rasanya aku
lebih berkuasa untuk membuatnya menangis, mengusirnya dari kancah permainan.
Rasanya, aku seperti elang yang telah berjam-jam menetes-neteskan liur saat mengunci
mangsa dengan mata tajamku. Dan sekarang, cakar-cakarku mengkilat dibalik baju.
Paruhku terbuka. Bersiap mendengar gemeretak tulang-tulang hancur di dalam
mulutku.
Tiba-tiba kurasa tubuhku bergetar hebat. Lututku lemas
seketika. Ada seseorang yang menarikku kembali ke masa sekarang dengan kejam.
Aku tidak berpikir siapapun kecuali itu adalah mangsaku yang kini telah tumbuh
gagah dan kuat. Melotot panik ke arahku. Dua tangannya mencengkeram bahuku.
Tiba-tiba rasanya aku menyusut. Menjadi elang tanpa tulang punggung dan cakar.
“Mas Den?”
“Bisa lepaskan bahu saya?” aku memperhatikan posisiku saat
ini. Dalam sekejap aku pias. Tanganku masih dalam keadaan seperti mengetuk
pintu. Jadi … apa aku berhasil mengetuk pintu?
Kunang melepaskan tangannya dengan hati-hati. Lalu menyeretku
ke balik tembok agar anak-anak tak melihat kami.
“Ada apa, Mas Denting?”
“M—maaf, Kunang. Saya mau melakukan supervisi … ,”
“Oh Ya Tuhan. Mas Denting nampak tidak begitu sehat hari
ini.”
“Kalau begitu mari kita lakukan dengan cepat.”
Aku muak dengan mimik perhatiannya yang dibuat-buat. Sudah
cukup dia jadi makhluk menyebalkan di depan mataku. Aku membuka
berlembar-lembar berkas yang diklip. Lalu memberi pertanyaan-pertanyaan yang
sengaja kuajukan dengan nada semenyakitkan mungkin.
“Saya tidak begitu suka dengan metode, Mas. Sebenarnya metode
itu hanya kumpulan teknik yang dibolak-balik. Yang diakal-akali saja. Metode
itu diperuntukkan bagi guru yang tidak bisa berinovasi,”
Sial. Betapa dia melakukan skak dengan sempurna. Tak ada yang
bisa kulakukan selain memerahkan wajahku.
“—jadi saya hanya mendistribusikan materi ke dalam kegiatan
sehari-hari siswa. Seperti yang kita tahu, anak-anak di sini belum terlalu peka
dengan internet. Tapi sehari-harinya berkutat sama televisi. Misal tentang
cita-cita, setelah anak-anak berani mengungkapkan cita-cita yang masih terkesan
labil di tahun-tahun sekolah dasar, saya menyuruh mereka untuk mengembangkan
dan melatihnya. Misal dia ingin menjadi dokter, saya sarankan untuk menonton
acara televisi Dokter Oz. Itu bagus. Ada yang ingin jadi ustadz, saya sarankan
mengikuti Ustadz Maulana yang terkenal gaul itu. Lucunya, ada yang pingin jadi
manusia super. Jadi saya suruh dia menonton Bima, atau membaca komik-komik
Nusantaranger.”
“Manusia super itu, di mana-mana terkenal dengan kemampuan
berkelahi dan bunuh-bunuhan, Kunang. Apa kau tidak mempertimbangkan hal itu?”
Dia tersenyum seperti paham arah bicaraku, “Mas Denting tahu
Nusantaranger tidak? Komik itu mengangkat kekuatan dalam persatuan dan
kesatuan, penanaman budi luhur, juga toleransi.”
Aku masih ingin menjungkalkan tubuhnya ke tanah. Aku ingin
melihatnya sekali lagi memohon kepadaku, meminta sebuah kesempatan lagi. Tapi
heran, dia seperti bukan Kunang yang lemah dan ingusan. Dia seperti bukan
Kunang yang pantas untuk diusir.
“Bagaimanapun, itu tentang berkelahi, tentang usaha menyakiti
orang lain, tentang bunuh-bunuhan. Bagaimana jika ternyata murid-muridmu itu
mencoba mencungkil mata temannya?”
Mulut Kunang menganga kaku. Ia memandangku seperti malaikat
maut yang siap memelintir lehernya. Ya, aku telah lama meletakkan pion
pembunuhku tepat di depan rajanya. Hari ini, aku akan memangsanya hidup-hidup.
***
Dua hari setelah supervisi kilat yang kulakukan terhadap
Kunang, hari terasa temaram. Rapat guru membuat kami memberikan tugas kepada
masing-masing ketua kelas di dua jam terakhir dan harus dikumpulkan. Rapat
sudah berakhir. Lima kelas sudah menyetor tugasnya masing-masing, lalu
diperbolehkan berdo’a pulang. Hanya kelas Kunang yang belum menyetorkan tugas.
Kulihat Kunang asyik sendiri dengan gadget-nya. Apalagi telinganya
disumpal dengan headset sebesar kepalan. Sudah tiga kali aku menuju
kantor dan mengingatkannya. Dia hanya melepas headset dan mengangguk
mengatakan beberapa saat lagi dia ke kelas.
Aku tidak sabar. Jam pulang sudah lewat beberapa menit lalu.
Lagu jam pulang berdendang untuk kedua kalinya. Para orang tua sudah mengantri
di depan gerbang untuk menjemput buah hatinya. Bergegas aku menuju kelas empat.
Kelas yang diampu Kunang. Kulihat dari luar, beberapa anak menghambur keluar
dengan rasa ngeri terpancar di matanya. Sebagian lagi bersorak-sorak seolah
sedang ada lomba makan kerupuk di dalamnya.
“Ada apa lari-lari, Misa?” aku menanyai siswi berkuncir kuda
yang menghambur bersama teman-teman perempuannya.
“Gigi, Pak, i—itu, Gigi sedang drama ngeri sekali sama Kiki.
Kayak di sinetron-sinetron … ,”
“Mereka kayak kesurupan … ,”
“Gigi berdarah, Pak … ,”
Aku pias. Kuhiraukan Misa yang masih bercerita dengan
dibumbui penuturan teman-temannya. Kalimat terakhir membuat bayangan Kunang
mencungkil mata Mbok Piji terlihat jelas di mataku. Rasanya ngilu sekali.
Sendi-sendiku terasa kehilangan tulang. Tapi aku harus terus berlari. Menembus
kerumunan anak-anak kelas empat yang menyemut di depan kelas.
“Gigi! Kiki!”
Keduanya telah bergelimpangan di lantai. Darah tercecer di
mana-mana. Seperti genangan-genangan banjir di jalanan yang berlubang.
***
“Saya tidak menyarankan sinetron!” bantah Kunang. “Saya tidak
pernah menyarankan anak-anak untuk menonton sinetron!” ia berdiri dari kursi
dan menepis udara dengan kasarnya.
Kemarin, Gigi, seorang siswa yang dikenal mempunyai gigi
besar, bagus dan tajam di bagian depan diminta Kiki untuk mempraktekkan seorang
antagonis di sinetron yang sering ditontonnya, Ganteng-ganteng Sori Galak. Kiki
sendiri, berperan sebagai tokoh protagonis yang baik dan sering dilukai, tetapi
mempunyai kekuatan super.
Gigi benar-benar menggigit leher Kiki sampai cuil. Kiki sudah
berteriak-teriak minta tolong, tapi dikira hanya akting. Akhirnya, Kiki
menjegalnya hingga Gigi terbanting dan kepalanya membentur pinggiran meja.
Akhirnya Kiki pingsan dengan leher cuil. Sementara Gigi pingsan dengan kepala
sobek.
Semua ini berawal dari Kiki yang bercita-cita menjadi manusia
super. Dia disarankan oleh guru kelasnya, Kunang, untuk menonton Bima atau
membaca Nusantaranger. Tetapi dia tidak suka Bima. Dia pun tidak bisa mengakses
Nusantaranger karena hanya ada di internet. Alhasil dia menonton sinetron itu.
Kini kulihat Kunang berlalu dari kantor kepala sekolah. Ia
menyembunyikan wajah ingusan dan cengengnya. Nah, Kunang, hari ini kau kalah
lagi. Dan aku tidak akan memberimu kesempatan kedua.
pembaca yang imut, tinggalkan jejak yaaa :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar