Dahulu kala, hujan dan pelangi adalah dua sahabat yang selalu bersama.
Hujan selalu datang lebih dulu, lalu pelangi menyusul. Seringkali hujan yang
menunggu pelangi, semakin lama ia menunggu, semakin deras pula butiran air yang
dijatuhkannya ke bumi. Baru setelah pelangi muncul, hujan tersenyum kecil lewat
rintikan lembut, sebelum keduanya pergi lagi meninggalkan langit bersama-sama.
Selalu begitu.
Hujan tak pernah mengeluh mengapa ia harus selalu menunggu. Hujan juga
tak pernah meminta pelangi agar muncul lebih dulu. Hujan menikmati masa
penantian dengan berjalan-jalan ke bumi dengan rintikan-rintikan kecilnya. Ia
bahagia saat melihat butiran airnya mengenai dedaunan, lalu menuruni batangnya,
kemudian jatuh dengan lembut ke dalam tanah yang akhirnya diserap akar sebagai
nutrisi. Ia bahagia ketika butiran airnya memberi minum anak-anak padi yang
menengadah, hingga ia dewasa dan berguna bagi kelangsungan hidup makhluk bumi.
Ia bahagia ternyata kedatangannya selalu berguna. Ia terus berjalan-jalan,
sembari menunggu pelangi datang.
“Hai hujan! Wah sepertinya sedang bahagia nih.” Sapa pelangi yang muncul
tiba-tiba di ufuk timur dengan cantiknya.
“Eh, Hai. Kau sudah datang, ya pelangi?” Hujan yang masih senyum-senyum sendiri
terkejut mendengar suara pelangi dari dekatnya.
“Tuh kan kamu tidak tahu aku sudah lama mengamatimu dari sini.
Ngomong-ngomong apa yang membuatmu gembira begitu?” Selidik pelangi penasaran.
“Err kamu pasti tidak percaya bahwa aku sangat berguna bagi semua makhluk
bumi. Aku merasa bahagia sekali.” Ujar hujan dengan riang gembira.
“Tentu hujan, apalagi kamu selalu sabar menungguku. Coba lihat, anak-anak
manusia selalu berteriak-teriak senang saat melihat indahnya tujuh warnaku.
Apabila kamu tidak sabar menungguku, tentu mereka tidak akan gembira seperti
ini.” Kata pelangi membuat hujan semakin senang. Ia menunjuk ke arah anak-anak
kecil yang bersorak sorai “Ada pelangi! Horeee!!” Hujan sangat bahagia sekali.
“Waah aku sangat bersyukur mereka baik kepada kita. Kalau begitu mari
kita pergi perlahan agar mereka masih bisa melihat kita saat kita menjauh.”
Hujan menggandeng pelangi dan pergi menjauh. Anak-anak manusia masih terlihat
senang bahkan saat mereka hanya melihat bayangan samar di langit, diiringi
rintikan hujan yang semakin kecil dan lembut. Mereka tidak pernah tahu kemana
hujan dan pelangi pergi. Mereka juga tak pernah tahu dari mana hujan dan
pelangi datang, mereka hanya merasa senang.
Sampai tibalah saat waktunya hujan turun lagi. Hujan yang terlalu
bersemangat untuk membasahi bumi kini tak hanya turun untuk menunggu pelangi
datang. Hujan ingin melihat lebih banyak lagi kebahagiaan bumi yang didapatkan
dari butiran-butiran airnya. Hujan berkeliling di bumi. Mengamati reaksi setiap
sudut bumi setiap kali airnya berjatuhan. Ia menjadi sangat bahagia dan
bersemangat untuk menjatuhkan airnya di lebih banyak tempat.
Sehingga ia tiba di atas sungai, hujan sangat terkejut. Saat
butiran-butiran airnya berjatuhan kemudian melebur dengan air sungai, mengalir
begitu derasnya dalam pagar batu yang cantik, manusia malah melemparinya dengan
sampah. Awalnya hujan hanya melihat itu sebagai kelalaian manusia, tapi semakin
jauh ia mengikuti aliran sungai, ia melihat semakin banyak sampah yang
menggunung, menyumbat aliran sungai yang indah berkelok-kelok. Hujan merasa
sedih. Ia merasa dirinya dikhianati oleh mahluk bumi. Manusia mengira air
terlalu hebat, bisa mendorong sampah meninggalkan pemukiman mereka lewat aliran
sungai. Manusia mengira air bisa meleburkan sampah-sampah bau mereka. Padahal
air hanya air, satu bagian dari hujan yang bermanfaat bagi mereka untuk
menyuburkan tanaman mereka.
Saking sedihnya, hujan berlari dan menangis. Ternyata manusia tak bisa
menghargai air. Ternyata manusia menganggap remeh air. Ia berlari dan terus
berlari. Tangisannya yang keras membuat hujan semakin turun deras. Saat ia
semakin berlari sambil menangis, jadilah hujan badai di bumi. Ia tak peduli, ia
terus berlari sampai..
Bugk!
Hujan menabrak sesuatu. Saat ia membuka matanya, ia terkejut lagi. Hujan
menabrak gunung yang gundul.
“Kemana pepohonan yang selalu cantik dengan air hujanku?” Hujan tersedu
sambil mengitari gunung. Ia melihat manusia yang menebangi pohon dengan
rakusnya. Hujan ingin menangis lagi, tapi kali ini bukan terasa sedih. Hujan
ingin marah. Hujan geram dan ingin membalas perbuatan keji manusia-manusia itu.
Hujan berfikir, manusia harus diberi pelajaran. Hutan yang penuh dengan
pepohonan rindang, yang daunnya bisa dimanfaatkan untuk masakan, batangnya bisa
dimanfaatkan untuk perabotan, dan akarnya dapat menyimpan air agar tidak
longsor dan banjir itu digunduli dengan sadisnya oleh manusia. Hujan merasakaan
wajahnya kian memanas. Ia sudah telanjur marah. Ia ingin manusia itu tahu
akibat dari perbuatannya.
Hujan berlari mengelilingi bumi dengan lebatnya. Hujan badai. Airnya
menggelora di sungai. Sampah yang menyumbat membuat air hujan yang semakin
banyak jatuh itu tak mampu ditampung oleh sungai. Akhirnya sungai meluap.
Melahap rumah-rumah. Melahap jembatan, pintu air, memenuhi waduk-waduk, dan
membuat seluruh kota terendam banjir. Tapi hujan telanjur tak peduli. Ia marah,
semakin marah, dan sangat marah. Bahkan ia tak melihat kedatangan pelangi.
Derasnya hujan membuat langit begitu gelap. Pelangi yang indah tak dapat
dilihat oleh anak-anak kecil. Pelangi hanya bisa memohon kepada hujan agar mau
memaafkan.
“Hujan, tenanglah! Jangan marah begitu..” Ujar pelangi memohon. Namun
hujan mengabaikan pelangi. Pelangi tidak tahu apa yang menyebabkan hujan begitu
marah. Pelangi terisak dalam langit
gelap. Sekarang giliran ia yang menunggu hujan reda. Tapi sehari, dua hari,
tiga hari, seminggu… Hujan tak kunjung reda. Pelangi kecapaian. Ia menyerah
menunggu hujan. Ia berjalan linglung meninggalkan langit. Saat dalam perjalanan
pulang, ia melihat sendiri apa yang terjadi di bumi. Banjir dimana-mana.
Kerongkongan pelangi tercekat. Ia tahu mengapa hujan sangat marah.
Manusia sangat tidak manusiawi kepada lingkungannya sendiri. Mereka berkata
menjaga bumi, tapi malah merusaknya. Pelangi menangis melihat keadaan bumi yang
gundul dan penuh sampah. Ia segera berpaling karena tak tega melihat bumi yang
sakit parah karena manusia. Sekarang pelangi takut muncul di langit. Ia takut
melihat keadaan bumi yang semakin mengerikan. Ia hanya berpesan kepada manusia,
“Tolong, jangan salahkan hujan.”
Kulon panjunan, 15 Oktober 2014
Ini dia salah satu keahlian dilla, dongeng :3
BalasHapushihi makasih sudah mampir kka :) iya nanti mampir ke blog-nya ka adi :)
Hapushttp://tristanthewizard.blogspot.com/ dan http://mycreationonly.blogspot.com/
BalasHapuskunjungi juga blokku :3